Jakarta – EUNIC Indonesia Cluster membuka Pameran Design Matters Lab yang pertama, menampilkan lima produk inovatif hasil kolaborasi desainer Indonesia dan Eropa dalam merespons krisis limbah global. Dibuka di Erasmus Huis pada 27 Februari dan berlangsung hingga 3 Mei 2025, pameran ini menyoroti kreasi inovatif yang dibuat dari limbah dan material berbasis hayati, seperti puntung rokok, kotoran sapi, miselium, kaki ayam, dan ampas kopi. Melalui kolaborasi lintas budaya, para desainer ini mengubah limbah menjadi sumber daya berharga, membuktikan bagaimana desain dapat menjadi solusi berkelanjutan terhadap tantangan lingkungan yang mendesak.
Lima desainer Indonesia dipasangkan dengan rekan dari Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Irlandia untuk mengikuti bootcamp daring selama satu bulan, diikuti dengan residensi selama 14 hari di Bandung pada Desember 2024. Bertempat di lima micro-factory lokal, residensi ini memberikan pengalaman kolaboratif langsung di mana para desainer bekerja sama dengan pakar industri untuk mencari material alternatif, bereksperimen dengan desain, melakukan uji coba, dan mengembangkan prototipe—mewujudkan produk inovatif mereka. Program ini tidak hanya menampilkan desain yang menantang konsep estetika dan fungsionalitas konvensional, tetapi juga mendorong pemahaman bersama melalui pertukaran budaya, berbagi pengetahuan, dan visi bersama menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Summer Xia, Co-President EUNIC Indonesia Cluster dan Country Director British Council Indonesia, mengatakan, “Design Matters Lab membuktikan apa yang bisa dihasilkan dari pertemuan antara kreativitas dan kolaborasi. Dengan mempertemukan desainer dari Indonesia dan Eropa, kita tidak hanya bertukar ide—kita ikut menciptakan solusi yang mengubah limbah menjadi peluang. Proyek ini membuktikan bahwa desain memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan yang mampu menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis limbah. Melalui berbagi pengetahuan, pertukaran budaya, dan inovasi yang berani, kita sedang membangun masa depan yang lebih berkelanjutan—di mana kreativitas dapat menghasilkan dampak nyata.”
Nicolaas de Regt, Direktur Erasmus Huis dan Kepala Departemen Budaya dan Komunikasi
Kedutaan Besar Belanda, menambahkan, “Menjadi tuan rumah Pameran Design Matters Lab adalah sebuah kehormatan bagi Erasmus Huis, sejalan dengan komitmen bersama kami dalam menghadapi tantangan keberlanjutan. Hal ini juga selaras dengan misi utama Belanda yang telah lama mengeksplorasi solusi inovatif melalui program seperti What if Lab dan Building with Nature.
Yang membuat Design Matters Lab begitu menarik adalah fokusnya pada kolaborasi lintas
budaya, mendorong dialog kreatif antara perspektif Indonesia dan Eropa untuk menciptakan desain yang berdampak. Kami percaya bahwa mempertemukan para desainer ini akan menginspirasi audiens untuk turut serta dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.”
Proyek-proyek yang ditampilkan dalam pameran ini meliputi TAC_tiles oleh Chloe Xingyu Tao (Inggris), Fariz Fadhlillah (Indonesia), dan Conture Concrete Lab (Indonesia); Hylume oleh Leïla Bouyssou (Prancis), Bani Muhammad (Indonesia), dan MYCL (Indonesia); Lampoep oleh Ratna Djuwita (Indonesia), Pim van Baarsen (Belanda), dan Cowka (Indonesia); Cuir Mache oleh Rininta Isdyani (Indonesia), Alve Lagercrantz (Jerman), dan Hirka (Indonesia); serta ESPRESSO oleh Cokorda Gde Bagus (Indonesia), Ciana Martin (Irlandia), dan Bell Living Lab (Indonesia).
Chloe Xingyu Tao, seorang desainer dari Inggris, menggambarkan pengalamannya dengan
Design Matters Lab sebagai sesuatu yang benar-benar unik dan tak terlupakan. Program ini
memberinya kesempatan langka untuk berkolaborasi dengan desainer internasional, penyelenggara, serta micro-factory, sekaligus berinteraksi dengan publik di Indonesia. “Proyek kami, TAC_tiles, menantang saya untuk mengeksplorasi ranah baru dalam desain, penelitian, dan pengembangan material guna menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas netra. Sangat menghangatkan hati melihat begitu banyak orang peduli terhadap isu ini saat pameran terakhir kami. Saya dan Fariz akan terus mengembangkan proyek ini—karena membangun jalan yang inklusif membutuhkan upaya kolektif, kesadaran, dan tindakan dari kita semua,” ujarnya.
Ratna Djuwita, seorang desainer material asal Indonesia, juga berbagi perspektifnya
mengenai proyeknya, Lampoep, yang mendorong batas inovasi lintas budaya. “Design Matters Lab adalah ruang inklusif yang membuka kemungkinan baru dalam membayangkan dan menemukan solusi bagi tantangan sehari-hari melalui pendekatan berbasis desain. Dalam program ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk bertemu dengan rekan-rekan dan mentor multidisiplin serta multietnis, masing-masing dengan gagasan dan perspektif unik mereka. Pengalaman residensi dan pendampingan ini membuka potensi bagi proses desain yang lebih organik. Kami dapat mengamati dan belajar langsung bagaimana pengetahuan lokal diintegrasikan hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari proses desain kami,” ungkapnya.
Para pengunjung pameran akan memiliki kesempatan untuk melihat dan menyentuh langsung produk serta material inovatif ini, sehingga mereka dapat lebih menghargai proses kreatif di baliknya. Infografis dan presentasi informatif akan menampilkan perjalanan dari limbah mentah hingga menjadi produk jadi, memberikan wawasan tentang tantangan, terobosan, serta teknik berkelanjutan yang dieksplorasi selama residensi. Melalui pengalaman imersif ini, pameran bertujuan untuk menyoroti potensi material alternatif serta kekuatan transformatif desain dalam menghadapi isu lingkungan.
Design Matters Lab adalah bagian dari proyek European Spaces of Culture, yang menguji dan mengimplementasikan model kolaborasi inovatif di bidang budaya antara aktor-aktor Eropa—anggota EUNIC dan Delegasi Uni Eropa (UE)—dengan mitra lokal di negara-negara non-UE. Proyek ini mendukung pendekatan strategis Uni Eropa dalam hubungan budaya internasional. European Spaces of Culture diimplementasikan oleh EUNIC bekerja sama erat dengan Komisi Eropa dan Layanan Aksi Eksternal Eropa (EEAS). EUNIC (European Union National Institutes for Culture) adalah jaringan institut kebudayaan nasional Eropa, dengan 39 anggota dari seluruh negara anggota UE serta negara mitra.