Senin, 24 Oktober lalu warnaplus.com bertemu komponis-pianis Ananda Sukarlan di malam peluncuran film serial musikal “Payung Fantasi” yang dibintangi antara lain oleh Mariska Setiawan, penyanyi soprano yang juga menjadi salah satu solois di pertunjukan perdana G20 Orchestra yang sukses diadakan di Candi Borobudur September lalu dan dihadiri oleh para para menteri kebudayaan negara G20. Setelah pemutaran film, Warnaplus.com mendapat kesempatan berbincang dengan sang maestro yang lulus dengan Summa Cum Laude dari Royal Conservatory of Music di Den Haag ini.
warnaplus.com : Bagaimana kesan anda tentang film Payung Fantasi?
Ananda Sukarlan (AS) : Wah keren dalam segala hal. Saya pribadi sih bangga banget dengan Mariska Setiawan. Saya kenal Mariska itu sejak ia masih belasan tahun, di tahun 2011 menjadi salah satu pemenang (bukan pemenang pertama loh!) kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan yang waktu itu dicetuskan oleh Amadeus Performing Arts di Surabaya. Saya lihat kerja kerasnya sampai hari ini dan bahkan buat saya itu sangat inspiratif dan mengingatkan kita semua bahwa jalan menuju kesuksesan bukanlah karpet merah yang ditaburi bunga, tapi jalan terjal berkerikil tajam kalau kita ini bukan berasal dari keluarga yang duitnya nggak berseri atau pemegang kekuasaan.
warnaplus.com : Mariska Setiawan bukan satu-satunya pemenang kompetisi anda yang akhirnya sukses berkarir di musik, bukan?
AS : Bukan dong. Pemenang kompetisi piano kami yang terakhir, Calvin Abdiel Tambunan, hanya setahun setelah memenangkan ASA (Ananda Sukarlan Award – red) tahun 2020 menjadi juara ke-3 di Sydney International Piano Competition dan kini juga sudah mapan karirnya sebagai pianis profesional dan tinggal di Australia. Di Indonesia, Isyana Sarasvati memenangkan kompetisi kami di 2013 dan lihatlah sekarang karirnya. Masih banyak lagi contohnya.
warnaplus.com : Profesi sebagai musikus kini bukan lagi dianggap sebagai “sekunder” di Indonesia ya?
AS : Sama sekali bukan. Dengan contoh anak-anak muda di atas tadi, juga di dunia musik pop, kita bisa lihat bahwa kekhawatiran para orangtua yang bertanya apakah anaknya bukan “makan apa” tapi “apa makan” kalau jadi musikus, terbukti sudah terjawab.
warnaplus.com : Bicara soal para kompetisi, bagaimana dengan Ananda Sukarlan Award berikutnya?
AS : Sekarang kami bekerja sama dengan beberapa lembaga asing, swasta dan pemerintah. Salah satunya adalah Chicago International Music Competition (CIMCUSA) 2023 dan Institut Francais d’Indonesie yang akan mengirimkan pemenang hadiah utama Ananda Sukarlan Award (seperti yang telah mereka lakukan sejak 2014) untuk kursus musim panas ke Prancis. Babak semifinal kami melakukannya secara online paling lambat pertengahan Februari –tanggal belum pasti, tapi akan kami unggah di anandasukarlancenter.com segera –, semua orang dapat bergabung tanpa menghabiskan waktu dan uang untuk bepergian ke Indonesia. Dan mereka yang mencapai final dapat memilih, atau bahkan melakukan keduanya: pergi ke Chicago International Music Competition bulan Juli 2023 untuk final, dan/atau ke Jakarta untuk Ananda Sukarlan Awards pada Maret 2023. Dan ya, Anda bisa memenangkan keduanya kompetisi dengan hanya satu babak semi final. Dalam bahasa Indonesia ada pepatah: “Sekali dayung, dua pulau terlampaui”. Nama kompetisi kami sekarang menjadi ASA – CIMCUSA, dan ini ditujukan bukan hanya untuk piano dan vokal, tapi untuk semua instrumen, termasuk yang cukup langka seperti tuba, harpa dan gitar.
warnaplus.com : Untuk siapa saja kompetisi ini, dan apakah ada batas umur?
AS : Untuk semua musisi dengan kewarganegaraan negara Asia, atau yang saat ini tinggal di suatu negara di Asia, meskipun ia memiliki paspor negara non-Asia. Batasan usia hanya berlaku untuk yang termuda (elementary): lahir setelah 1 Januari 2010. Setelah itu hanya ada dua kategori yang berlaku : Untuk seniman muda, dari 13-17 tahun, dan seniman profesional, di atas 18 tahun. Tidak ada batasan usia maksimal.
Semua peserta bisa ikut sebagai solois (individual) atau grup musik kamar (chamber music) sampai 5 orang. Perbedaan antara musik solo dan grup adalah, jika peserta adalah solois instrumen yang diiringi seorang pianis (atau instrumen lainnya), maka pianis tersebut tidak ikut bertanding. Jadi peserta solo dapat mengganti sang pengiring di babak final, jika dia mau. Dalam grup musik kamar, semua anggota grup tersebut menjadi peserta sehingga formasi musisi harus sama persis di babak final. Setiap orang harus mengirim 2 video yang menampilkan 2 karya musik yang berbeda: satu karya yang saya tulis minimal 4 menit, dan satu karya karya Barok, Klasik, Romantis, atau abad ke-20 minimal 7 menit. Untuk piano dan vokal, durasi karya saya minimum adalah 6 menit. Sebuah karya bisa dalam beberapa bagian.
Saya ingin mengingatkan bahwa jika Anda seorang instrumentalis melodik seperti biola atau oboe, kualitas penampilan pengiring juga penting walaupun anda mendaftar sebagai solois dan bukan sebagai grup musik kamar. Meskipun juri tidak menilai pengiring , kualitas pengiring mempengaruhi, bahkan menentukan kualitas pertunjukan. Karena ini adalah rekaman video, para peserta memiliki keuntungan untuk bisa mengulang rekaman kalau belum puas dengan hasilnya. Nah nanti di babak final (pertengahan Maret di Jakarta, dan/atau Juli di Chicago), baru kita bisa melihat para finalis secara LIVE, bagaimana mereka bisa perform dengan segala tekanan dalam live performance. Buat saya, pandemi ada berkahnya juga, kita jadi bisa belajar soal performing baik dalam berupa rekaman maupun live, dan saya ingin kompetisi kami ini akan terus dilangsungkan secara hybrid / campuran rekaman dan live untuk ke depannya.