Acara Sastra Reboan yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 2024 lalu di Warung Apresiasi Bulungan berlangsung sukses dan meriah. Tak kurang, pianis dan komponis Ananda Sukarlan turut menghadiri acara tersebut dan mengaku terkesan dengan kualitas puisi-puisi yang dibacakan.
Sebagai “one of the world’s leading pianist at the forefront of championing new piano music” menurut koran Sydney Morning Herald dan masuk sebagai salah satu dari 100 seniman Asia paling berpengaruh (Asian Most Influential) tahun 2020 dari media Tatler Asia, Ananda Sukarlan telah membuat lebih dari 600 tembang puitik, yaitu karya musik vokal berdasarkan puisi yang telah ditulis oleh para penyair.
Berbagai puisi, cerpen atau sonet itu dibuat Ananda Sukarlan sejak berkuliah di Koninklijk Conservatorium of Music di Den Haag sampai sekarang baik dalam bahasa Inggris, Spanyol dan Indonesia. Kecintaannya terhadap karya sastra itulah yang membuatnya berkomentar tentang acara Sastra Reboan tanggal 29 Mei 2024 lalu, yang menurutnya kurang hikmat. Tulisan lengkapnya dapat dibaca di https://www.tinemu.com/temu-paran/31712808980/pada-suatu-reboan-kritik-ananda-sukarlan-tentang-sastra-reboan.
Dalam tulisan tersebut Ananda Sukarlan mengkritik kurang lebih dua hal; pertama, mengapa acara sastra tersebut hanya dihadiri para sastrawan, tidak ada masyarakat umum atau mereka yang notabene bukan pengarang. Kedua, mengapa ketika acara pembacaan puisi sedang berlangsung justru ada yang sibuk ngobrol dengan suara keras sehingga menganggu (mengalahkan) suara pembacaan puisi.
Ananda Sukarlan dalam tulisan yang sama juga ada mencuplik puisi berjudul “Baca Puisi” karya Sofyan RH. Zaid, yang juga berisi kritikan terhadap penonton yang kurang memperhatikan (menghargai) pembacaan puisi seorang penyair di atas panggung: seorang penyair gagah berdiri/baca puisi berapi-api! Alih-alih mendengar malah mereka ngobrol sendiri dengan suara yang keras: sementara di hadapannya/sekawanan penyair/berasap-asap, berbusa-busa/bicara sendiri.
Tulisan Ananda Sukarlan itu menuai banyak tanggapan di Facebook, dan yang terakhir, dosen Universitas Indonesia, Komisaris Utama PT. Pelindo sekaligus pakar transformasi digital Riri Satria menuliskan status di Facebooknya, yang juga menuai banyak komentar, termasuk dari Ananda Sukarlan dan Sofyan RH. Zaid sendiri. Hal ini sangat menarik dan patut untuk disimak, bukan hanya oleh para sastrawan, tapi publik pada umumnya. Berikut saya sertakan status Riri Satria serta seleksi komen-komen di bawahnya (tidak semua komentar dikutip di sini, hanya yang relevan saja), dengan sedikit editing tanpa mengurangi maksud dari komentar-komentar tersebut.
Riri Satria menulis di status Facebooknya begini (saya kutip utuh):
Menjawab kegusaran Ananda Sukarlan dan Sofyan RH Zaid, mengapa kok ketika seorang penyair sedang membacakan puisinya di panggung, maka para penyair lainnya sibuk ngobrol, selfie-selfie, serta lalu lalang?
Entahlah, saya juga bingung, kok begitu ya? Ini jamak saya temukan dalam berbagai pentas puisi, baik di Taman Ismail Marzuki (TIM) atau lainnya.
Nuansa yang sangat berbeda saya temukan pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Ubud, Bali, di mana saya selalu hadir setiap tahun sejak 2013 sampai 2019. Hanya saja, semenjak Pandemi Covid-19, saya belum pernah lagi ke sana.
Pada UWRF yang pengunjungnya sebagian besar adalah orang asing, saya mendapati perilaku atau bahkan mungkin kultur yang berbeda. Ketika ada seorang penyair atau deklamator sedang membacakan puisi di panggung, ruangan menjadi sunyi senyap. semua memperhatikan ke panggung dengan serius.
Penghormatan diberikan kepada siapa pun yang sedang membacakan puisi di panggung.
Saya pernah bertanya kepada seorang penyair dari Australia dan Inggris (saya lupa nama keduanya), jawabannya adalah: sesama penyair harus saling menghormati. Kalau rasa saling menghormati itu tidak dimulai dari sesama penyair, bagaimana yang lainnya?
Mungkin tidak fair untuk mengatakan seolah kita memang tidak saling menghormati. Tetapi kata-kata dua penyair tadi, satu dari Australia dan satu dari Inggris tadi cukup membuat saya tersentak.
“Sesama penyair harus saling menghormati. Kalau rasa saling menghormati itu tidak dimulai dari sesama penyair, bagaimana yang lainnya?”
Saya yakin beberapa sahabat lainnya juga merasakan atmosfir ini ketika berada di UWRF di Ubud: Emi Suy, Nunung Noor El Niel, Rissa Churria, Erna Winarsih Wiyono, Romy Sastra, Sulthan Indra Muda, Muhammad Daffa, Andi Makkaraja, dan kawan-kawan lainnya.
Tanggapan dan komentar di Facebook pun bersusulan selepas postingan status Riri Satria tersebut terbit. Ananda Sukarlan sendiri menanggapi dengan menulis: Saya juga ke UWRF udah dua kali, dua-duanya perform (pake piano, masa baca puisi sih, bisa bubar festivalnya, wakakka), tapi aku ngikutin hampir semua acara lain. Bener banget, suasananya semua menyimak. Justru karena banyak sesama penyair mungkin ya, jadi pada nyimak. Pingin belajar dari sesama penyair (atau justru cari-cari kelemahan, hahaha). Anyway, point paling penting dan utama di tulisanku sebetulnya adalah: kok penontonnya semua sastrawan? Kok tidak ada penonton umum, penikmat sastra, seperti saya yang non-sastrawan?
O ya, kan aku suka kasih masterclasses gitu di berbagai sekolah musik. Pas konser akhirnya murid-muridnya main semua. Itu kalau ada yamg berisik atau nggak nyimak, itu ditegur loh ama kepala sekolahnya. Teman sendiri main kok cuek, gitu. Nggak menikmati ya gapapa, emang udah bosen kali dengerin berkali-kali temen itu main, tapi show respect, dong, hehehe. Kan justru bisa dengerin bagaimana dia develop sebelum dan sesudah dia masterclass.
Tanggapan lain datang dari Yeyen Kiram Yeka yang menulis: Apakah ini ada kaitan dengan faktor psikologis? Karena, jika kawan penyair yang sudah biasa bertemu sehari-hari, dan sudah hapal akan aksi panggungnya, biasanya akan dianggap tak lagi memiliki “kejutan” atau alasan buat ditonton dengan serius, maupun sungguh demi sungguh. Sehingga menyebabkan banyak yang merasa sudah “biasa”, hingga tak lagi merasa atau jadi tertarik. Makanya digunakanlah kesempatan tersebut buat aktivitas lainya, seperti selfie salah satunya.
Terlihat bagaimana, kawan penyair yang lokal pun, jika memiliki aksi baca panggung yang berbeda, dan memberi kejutan, malah juga mampu menyihir penonton untuk tetap bertahan di posisi seriusnya. Namun, apa pun alasannya, tetaplah salah jika tak menghargai mereka yang tampil mengisi panggung.
Terserah, panggung baca puisi, orasi, musikalisasi, atau apa pun. Jika memang tak tertarik dengan apa yang dipertunjukkan di panggung, silakan ganti posisi, alias meminggir saja. Itu kan lebih baik lagi.
Sulthan Indra Muda menulis: Betul, Uda. Bahkan tidak saja ketika perform baca puisi saja, namun ketika saya berbicara mengenai lingkungan (kebakaran hutan) yang terjadi ketika itu, pengunjung begitu sangat menghargai siapa yang di atas panggung. Setelah itu saya baca puisi yang berjudul ‘Tegak Lurus Dalam Celana’ mengenai lingkungan dan itu pengalaman berharga.
Imam Subagyo menulis komentar: Hal yang sama pada rekan lainnya etikanya amburadul, Mas Riri Satria, perlu perenungan yang dalam bahwa ternyata puisi bukan hanya tentang kata-kata tapi juga etika sesama penyair yang profesional bukan penyair yang hanya bisa teriak di panggung saja, tapi harus menghargai tata krama dan etika. Soalnya kita itu jadi panutan masyarakat luas, kita yang saya maksud para penyair yang benar-benar penyair.
Romy Sastra menulis: Sebenarnya kita pada dasarnya menyimak dan menikmati setiap perform kawan-kawan tampil dengan karyanya di panggung. Bukan tidak menghormati atau lainnya. Tapi di sisi lain seperti saya ada tugas sesi dokumentasi, maka tugas itu saya kerjakan sebaik-baiknya tanpa mengabaikan momen. Ya, untuk budaya penonton memang kita perlu belajar mengikuti atitude penyair luar negeri yang dengan antusias menyimak acara bahkan sebelum acara itu selesai.
Tapi begitulah kita, yang harus menghargai memberikan waktu pada sesi-sesi penampilan kawan-kawan tampil di panggung itulah estetika sastra itu sendiri berbingkai etika. Alumni DSJ pada waktu itu mendapatkan pengalaman berharga di UWRF khususnya di Betelnud.
Badri AQ T menulis: Kuncinya, ada pada si pembaca. Kalo sekadar tampil baca, sekadar ikutan baca, hambarlah suasana. Kunci lain yang tak kalah penting, tentu dari panitia penyelenggara harus berani selektif menentukan penampil/pembaca. Sebab tak jarang bahkan sering yang diundang hanya seteman (selingkaran) atau mereka yang dekat aja untuk membaca di panggung. Honor dan tidak berhonor untuk penampil, itu persoalan tersendiri juga. Lepas dari itu semua, Intinya, ketika teks dipanggungkan, hukum panggung mutlak adanya.
Kritikus sastra Maman S. Mahayana juga menulis komentar: Uda Riri Satria, ini cerita sohib kita Bastian Zulyeno ketika kuliah S-3 di Univ Tehran, Teheran, Iran. Ketika itu dia naik taksi ke Festival Nasional. Ketika sampai di tempat acara, seorang pejabat negara sedang berpidato. Bastian tanya beberapa hal tentang festival itu, lalu dijelaskanlah oleh si sopir taksi. Setelah pejabat negara itu selesai berpidato, tampillah seorang penyair membacakan puisinya, Bastian tanya lagi beberapa hal tentang penyair itu. Apa jawaban si sopir taksi? “Tunggu, kita dengarkan dulu puisi yang dibacakan si penyair.” Dan benar! Sopir taksi itu mendengarkan pembacaan puisi itu sampai selesai! Setelah itu, si sopir taksi berkata, “Hanya hewan yang tak ngerti dan tak menghargai puisi! Maka, dengarkan baik-baik jika ada penyair yang baca puisi!” Sopir taksi itu cuek saja ketika pejabat negara berpidato, tapi dia begitu takzim ketika penyair baca puisi! Jadi, saya setuju pada pernyataan si sopir taksi, hanya hewan yang tak ngerti dan tak menghargai puisi!
Muhammad Daffa menulis: Sepakat dengan, Pak Riri Satria. Atmosfer pembacaan puisi di UWRF itu emang beda, semua audiens menyimak pembacaan penyair sepenuhnya, tanpa ngobrol ngalor ngidul dengan kawannya atau sekadar main hape.
Andi Makkaraja menulis: Di UWRF saya pernah mengisi sesi panel. Dalam hati saya berterima kasih sekali kepada pendengar yang sepertinya berasal dari negara lain. Mereka fokus dan tenang menyimak. Antusias bertanya. Lalu setelahnya sibuk mencatat, tanpa ada yang bermain hp.
Sita Aulliya menulis: Intinya adalah, bila menginginkan perubahan, mulailah dari diri sendiri. Bagi saya ini berlaku dalam segala hal.
Sofyan RH. Zaid juga turut menanggapi dengan menulis: Maaf, saya luruskan ya (yang di luar celana): Saya sih tidak gusar, Bang. Kebetulan saja Maestro Ananda mengutip puisi saya yang judulnya “Baca Puisi”. Jadi, saya pribadi hanya menulis puisi dan share di Facebook dari buku Punggung Panggung itu.
Perihal yang Abang bicarakan ini, saya turut prihatin. Namun, ada banyak faktor kenapa itu terjadi, misalnya (1) pembaca puisi tidak menarik atau biasa tampil biasa; (2) faktor tempat acara; (3) faktor penonton sedang duduk dengan siapa; (4) Mohon ditambahkan ya. Hahaha.
Eki Thadan menulis: Ikut menyimak diskusi ini, menarik. Bagaimana adab interaksi antar penyair, selain bukan di atas panggung pun kerap terlihat saling berkelompok. Hal ini menjadi pembelajaran buat saya, terima kasih untuk para penyair, salam takzimku.
Shantined menulis: Satu lagi, Bang, ketika ada yang sedang membaca puisi lalu ada yang baru datang, dan kebetulan orang penting/terkenal, maka seluruh isi gedung berpaling, heboh sendiri pada nyalamin. Ih, ini mah norak sekali yaa.
Maunya kalo sudah mulai acara, pintu ditutup lalu ada penjaganya yang harus ngingetin pada siapa pun yang terlambat datang untuk langsung duduk paling belakang, diam dan tenang, tidak bikin keonaran, dilarang salam-salaman dulu kepada semua pengunjung (seperti kebiasaan saat ini, hahaha… keliling semua disalamin).
Penyair Bali Tan Lioe Ie pun turut menulis komentar: Padahal perlu lintas segmen ya, Bung. Di beberapa festival yang saya ikuti di beberapa daerah dan luar negeri sudah lintas segmen.
Yang menarik mereka ingin belajar dari yang asal luar. Peserta workshop penulisan puisi yang saya berikan di Tasmania, tak seperti di Indonesia yang umumnya siswa atau mahasiswa, orang dewasa hingga nenek-nenek ada. Ada juga yang bukunya sudah diterbitkan Pinguin Book. Kalau di festival lain mereka mencari tahu di sesi tanya jawab usai saya tampil.
Saya kira ada yang juga menarik. Saya tak tahu, karena cukup lama tak tampil di UWRF (apa ini dilakukan). Di beberapa festival di Luar Negeri penyairnya baca karya dalam bahasa kebangsaannya, terjemahan karyanya diproyeksikan ke layar.
***
Dan akhirnya, Riri Satria pun menjawab beragam komentar yang menanggapi statusnya tersebut (kecuali komentar Tan Lioe Ie yang muncul setelah tanggapan Bang Riri Satria). Mungkin setelah itu masih ada komentar lain, tapi tulisan ini sudah harus ditayangkan. Berikut komentar terakhir Riri Satria (saya kutip utuh):
Kaget juga saya, ternyata banyak sekali tanggapan atau komentar dari para sahabat. Bahkan Pak Maman S Mahayana pun memberikan komentarnya, berarti ini isu penting.
Terima kasih atas semua tanggapan atau komentarnya.
Tentu saja kita boleh meninjau dari sudut pandang apa pun, namun satu hal yang saya tarik kesimpulan dari semua komentar, bahwa kita wajib saling menghormati.
Kalau memang tidak suka dengan yang sedang tampil di panggung, ya pergi saja atau keluar alias minggat, jangan membuat gaduh di dalam ruangan sehingga menganggu acara.
Terima kasih banyak.