“The El Royale is a bi-state establishment. You have the option to choose a room in either California or Nevada.”- Hotel Concierge.
Banyak yang bilang, genre crime-thriller adalah genre yang susah lakunya di Indonesia. Unsur misteri mungkin bisa membuat orang tertarik. Tapi, konflik yang tegolong berat, kemudian lika-liku ceritanya membuat film semacam ini sering dianggap membingungkan. Kalaupun nonton, mungkin banyak yang lebih memilih untuk nonton filmnya secara ilegal karena taruhannya lebih kecil (akuilah). Itu juga belum tentu ditonton sampai habis, biasanya nontonnya pun sambil dicicil.
Belum berhenti sampai di situ, genre crime-thriller juga punya risiko lain. Karena berkaitan erat dengan unsur “crime”, maka film menyertakan banyak hal berbau kekerasan, baik dalam bentuk verbal maupun fisik. Poin-poin tadi semakin membuat genre crime-thrillermenjadi genre yang segmented dan pada akhirnya, menjadi langka atau jarang dibuat.
Maka dari itu, salah satu cara studio untuk membuat film crime-thriller-nya menarik adalah, selain memiliki ide yang orisinil, juga diisi oleh bintang-bintang ternama. Film dibintangi oleh beberapa aktor dan aktris papan atas agar nilai jual jadi terdongkrak. Ikut bermainnya para bintang yang sedang naik daun tadi juga diharapkan dapat menjaring fans dari mereka yang notabene mungkin bukan penggemar crime-thriller.
‘Bad Times at the El Royale’ menjadi contoh yang bagus dalam hal memanfaatkan status kebintangan para pemainnya untuk kebutuhan film ber-genre crime-thriller. Butuh bukti? Well, banyak dari media lokal yang tidak menginformasikan tentang cerita film ketika “El Royale” pertama kali muncul di publik, melainkan mem-posting foto Chris Hemsworth yang tengah bertelanjang dada. Apakah itu bagus? Oh jelas. Setidaknya memancing awareness. Setelah itu baru dimunculkan karakter-karakter lain, lalu ceritanya sendiri seperti apa. “El Royale” berkisah tentang tujuh orang strangers yang menginap di hotel yang terletak di Lake Tahoe. Masing-masing dari mereka memiliki rahasia yang nantinya akan terbongkar dan bikin suasana hotel jadi mengerikan.
Karena ditulis dan disutradarai oleh Drew Goddard, poin pertama yang pasti akan disasar penonton saat menonton “El Royale” adalah ceritanya. Drew sendiri merupakan penulis yang brilian, dengan karya-karya seperti “The Cabin in the Woods”, “World War Z” dan “The Martian”, langsung disukai banyak orang. Jadi penasaran, apa lagi yang coba ia berikan. Benar saja, Drew langsung memberi warna yang kuat pada “El Royale” lewat batasan informasi cerita yang dibuat terbuka (omniscient narration). Melihat ada tujuh strangers di film, treatment ini terbilang tepat karena membuat film dapat bertutur secara menarik.
Kita tidak hanya melihat film dari sudut pandang satu orang saja, melainkan tujuh orang sekaligus. Ada saatnya kita “berkendara” bersama Laramie Seymour Sullivan (Jon Hamm), seorang agen vacuum cleaner yang karismatik. Kemudian kamera berpindah ke Darlene Sweet (Cynthia Erivo), seorang penyanyi yang sedang bersiap untuk pertunjukan. Ada lagi Father Flynn (Jeff Bridges), pastor yang mengunjungi El Royale gara-gara Ritz Carlton sudah penuh. Berlanjut ke Emily Summerspring (Dakota Johnson), wanita cantik yang tidak ramah sama sekali, dan karakter-karakter lain yang terlalu panjang untuk disebut di sini.
Omniscient narration ini terbukti membuat El Royale jadi greget. Ketika memasuki tahap konfrontasi, film menjadi sangat enak ditonton karena Drew bermain-main dengan point of view. FYI, salah satu keunggulan dari penggunaan teknik Omniscient Narration adalah terciptanya unsur ketegangan karena penonton mendapatkan akses informasi cerita dari banyak sisi. Sudut pandang bisa berubah dari orang A ke orang B, orang B ke orang C. Kita bisa mengetahui, melihat, dan mendengar perspektif dari setiap strangers yang ada di El Royale ketika terjadi turning point pertama.
Masa-masa mengasyikkan di mana kericuhan yang ada di sequence awal pada tahap konfrontasi tampil sederhana. Berkat pengolahan cerita, dibarengi dengan eksekusi apik dari editing, membuat kericuhan sederhana ini tampil seru dan tidak biasa. Penonton memang akan mengetahui apa yang akan terjadi, namun perlu diingat bahwa itu tidak diketahui para pelaku cerita. Hal inilah yang akan memancing ketegangan (suspense) secara maksimal.
Sayangnya, meski disuguhi second act yang keren, terdapat rasa kekurangpuasan. Tipikal film-film macam begini, pasti ada kalanya kita menganggap bahwa satu karakter akan menjadi karakter yang penting, di mana karakter tersebut akan menjadi aktor yang membuat cerita film memasuki turning point. Pertanyaannya, apakah tebakanmu benar? Belum tentu. Hal ini pasti akan menyangkut preferensi masing-masing, tapi mau bagaimana lagi, film sempat memunculkan harapan itu.
Harapan bahwa El Royale memiliki misteri yang sangat berbahaya. Harapan bahwa El Royale adalah karakter tersendiri yang memiliki maksud dan tujuan. Harapan bahwa misteri El Royale akan bersangkutan pada sesuatu yang berskala besar. Tapi hasilnya tidak begitu. Seperti yang sudah ditulis di atas, film lebih mengarah pada satu titik yang lebih sederhana, kemudian muncul karakter baru yang menandai third act.
Selain itu, cukup kecewa juga karena tidak terlalu kelihatan apa sih bedanya kamar-kamar yang berada di Nevada dan California. Film hanya menampilkan dualisme tersebut di dalam dialog, dan sedikit teknik pewarnaan yang bagus dalam salah satu scene. Harga kamar hotel yang berbeda rate, kemudian beberapa peraturan khas masing-masing wilayah, semua dilontarkan di dalam dialog saja. Tidak terlalu berefek pada cerita filmnya.
Satu-satunya hal menarik dari hotel ini sudah ditampilkan di dalam trailer. Itu pun cukup sampai di sana. Penonton akan kesulitan untuk menggali lebih dalam maksud sebenarnya dari penyebab dibuatnya setting itu. Mudahnya, Drew hanya ingin menampilkan jukstaposisi yang terjadi di sejarah Amerika pada tahun 60-an, di mana saat itu politik Amerika sedang berada di masa kelam, tapi di sisi lain bidang seni seperti musik dan film memasuki masa yang disebut oleh Drew sebagai “almost renaissance”.
Jadi, salah satu inspirasi dalam membuat El Royale adalah Cal Neva Lodge. Ini merupakan tempat singgah yang mewah, di mana sama-sama terletak di daerah Lake Tahoe. Di dalam filmnya diceritakan bahwa El Royale dulu disinggahi banyak bintang ternama, tapi sekarang sepi pengunjung. Sudah jatuh tertimpa tangga, lisensi judi untuk El Royale pun dicabut. Uniknya, jika merujuk kepada sejarah Cal Neva, pada tahun 1963 lisensi judi mereka juga dicabut akibat diketahui adanya keterlibatan bos mafia bernama Sam Gianca. Cal Neva sendiri pada tahun 50 dan 60-an menjadi tempat favorit yang selalu dikunjungi public figure.
Marilyn Monroe menghabisi minggu terakhir hidupnya di Cal Neva, sebelum ditemukan overdosis pada tahun 1962. Belum selesai, Cal Neva juga dikenal memiliki terowongan bawah tanah. Terowongan ini menghubungkan ruang pertunjukan dan bungalow, lalu memiliki beberapa pintu masuk yang berada di kantor Frank Sinatra, heliport, dan salah satu lemari yang ada di bungalow. Dengan latar tahun film El Royale yang berada di periode yang sama, sepertinya ini merupakan cara yang cerdas dalam memasukkan tributeberbentuk sejarah ke dalam film. Drew seperti menampilkan kisah Cal Neva, yang sekarang sudah jauh berbeda dibanding saat golden era-nya.
Untuk kembali memunculkan penuansaan 60-an khas Cal Neva Lodge, Drew membuat set yang kurang lebih mewakili bentuk aslinya. El Royale terlihat lebih ringkas, dengan satu bangunan utama yang berada di tengah. Kemudian, kita bisa melihat kamar-kamar yang terletak di kedua sisi. Yang satu terletak di negara bagian Nevada, yang satu lagi terletak di negara bagian California. Jika dibandingkan dengan Cal Neva yang memiliki heliport dan kolam renang, tentu ini tidak sebanding. Tapi setelah masuk ke dalam, mata akan dibuat takjub oleh berbagai furnitur dan production design El Royale yang tidak kalah kece.
Semua elemen yang ada bernuansa retro dengan warna dominasi coklat keemasan dan terlihat cantik ketika diambil oleh film. Mulai dari jukebox jadul yang memutar lagu-lagu klasik, area perapian yang menghangatkan ruangan, area bar dan lounge yang comfy, area resepsionis yang berlatar belakang display hewan-hewan liar, sampai satu bagian dari set yang memegang peranan penting di third act. Semua terlihat mengagumkan.
Penggambaran retro-klasik ini lalu didukung oleh aspek berikutnya, yaitu musik. Selain memutarkan lagu-lagu yang “era-appropriate” seperti “Hold On I’m Coming” dari Sam and Dave, kemudian “Hush” dari Deep Purple, “Bad Times at the El Royale” juga menciptakan lagu orisinil yang sesuai dengan karakter film. Salah satu yang menonjol adalah “This Old Heart of Mine” yang dinyanyikan oleh tokoh Darlene Sweet. Kepada awak media Drew mengatakan, lagu yang satu ini terbilang sulit untuk diciptakan hingga ke bentuk yang ia inginkan. Cynthia Erivo saja sampai diminta menyanyikannya hingga 27 kali. Beruntung, Cynthia merupakan seniman Broadway yang sangat berbakat. Penampilannya sama sekali tidak mengecewakan. Nyanyian Darlene membuat film jadi lebih catchy dan edgy sekaligus.
Belum cukup, musik sepertinya menjadi karakter kedelapan dalam El Royale. Ini terlihat jelas dari bagaimana Drew menulis lagu yang sesuai dengan konteks naratif. Contoh terbaik mengenai tanggapan tersebut adalah ketika tokoh Darlene dan Father Flynn sedang berada di ruangan yang sama. Secara cerdas musik dijadikan menyatu dengan cerita, karena ada satu hal yang menuntut Darlene dan Father Flynn untuk bekerja sama agar apa yang mereka sedang kerjakan tidak ketahuan oleh penghuni hotel yang lain.
Ide ini sungguh brilian karena selain dapat menyatukan musik dengan tuntutan narasi, “akal-akalan” Darlene dan Father Flynn juga menyertakan rasa baru ke dalam film yaitu sense of humor, yang dipertunjukkan dengan cara yang kelam. Selain itu, lagu “Twelve Thirty” dari The Mamas & The Papas, yang menjadi entrance song dari salah satu karakter terasa cocok dengan penokohan karakternya sendiri. Lagu “Hush” dari Deep Purple yang dipasang saat third act juga mewakili apa yang sedang terjadi.
Karena diambil dari pemikiran sang sutradara, wajar saja kalau banyak poin dari El Royale akan sulit didapat, apalagi bagi penonton awam. Ini bisa jadi bumerang karena bukan tidak mungkin bakal ada banyak orang yang tidak “ngeh” akan hal tersebut. Film ini tidak hanya sekedar berbicara tentang rahasia tujuh strangers yang dikemas secara menegangkan. Ada poin-poin tertentu, yang membuat ‘El Royale’ ternyata lebih wow dari yang kita asumsikan sebelumnya.
Memutuskan untuk tidak menelusuri sisi misteri terlalu dalam, cerita film tetap berada di koridornya dengan memasukkan referensi dari salah satu tempat historis, yang keberadaannya saja tidak diketahui banyak orang. Kemudian referensi tadi dipadukan dengan refleksi sang sutradara mengenai kondisi Amerika pada tahun 60-an. Musiknya ternyata juga bukan hanya penghias belaka. Selain cocok dengan latar waktunya, unsur musik membuat El Royale tampil layaknya film musikal karena kesesuaian lagu dengan pengadeganan. Pada akhirnya, kita lah yang merasa beruntung.
Film ‘Bad Times at the El Royale’ sudah bisa kamu tonton pada 26 Oktober 2018 di bioskop-bioskop terdekat di kota kamu.
Director: Drew Goddard
Starring: Jeff Bridges, Cynthia Erivo, Dakota Johnson, Cailee Spaeny, Jon Hamm, Lewis Pullman, Chris Hemsworth