Pemerintah Perlu Evaluasi Kebijakan Food Estate
Guna menghadapi ancaman krisis pangan, pemerintahan Joko Widodo gencar menerapkan kebijakan food estate di sejumlah daerah. Namun, program tersebut berpotensi jadi bumerang bagi Indonesia di masa depan.
Demikian disampaikan Ahli politik lingkungan internasional dari Universitas Paramadina, Ica Wulansari dalam acara Evaluasi 2022 and Proyeksi 2023: Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (15/12).
Hadir sebagai pembicara lain ahli pekerja migran, yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza dan Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Sedangkan moderator acara ini adalah Anton Aliabbas, Kepala Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE).
Ica menjelaskan kebijakan food estate yang dilakukan pemerintah tidak selaras dengan kebutuhan warga setempat. Di sisi lain, dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan menjadikan lahan tidak subur dan gangguan keseimbangan ekosistem. “Karena itu, kebijakan food estate di tahun 2023 perlu mendapat peninjauan kembali untuk memitigasi kemungkinan efek negatif ini,” kata Sekretaris Program Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina ini.
Dirinya mengakui berlarutnya konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis di sektor pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk telah menjadikan harga pupuk global tidak terkendali dan naik mencapai 80%. Sementara, kebijakan subsidi pupuk di Indonesia masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan.
“Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan,” tandas Ica.
Lebih lanjut, Tofan mengatakan pemerintah hendaknya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19. Menurutnya, konflik Rusia-Ukraina memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global. Akibat dari konflik tersebut, komoditas sawit dilirik sebagai salah satu produk minyak nabati global.
Dirinya menambahkan, setidaknya 70 persen dari produksi kelapa sawit terabsorpsi untuk pasar ekspor. Dan khusus untuk pasar kelapa sawit internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi 85 persen pasar tersebut. Sementara, keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit masih butuh perbaikan.
“Pemerintah sudah punya kebijakan keberlanjutan kelapa sawit, tapi kenapa kebijakan tersebut kurang gigih digunakan untuk merespon standar Uni Eropa yang sering berubah. Pemerintah justru seringkali terlihat tidak berdaya menghadapi tuntutan sustainability standar,” cetus Tofan.
Dirinya mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan respon memadai terkait kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait ‘driver of deforestation’. Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao. Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah Tiongkok dan India.
Terkait tata kelola pekerja migran sektor perikanan, Benni berharap pemerintah secara serius mengakhiri dualisme pengaturan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. Menurutnya, PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran justru tidak secara efektif mengakhiri problem dualisme pengaturan awak kapal. Padahal, kata dia, pekerja migran di sektor perikanan rentan menjadi korban penyelundupan dan perdagangan orang.
“Kebijakan diplomasi Indonesia terkait pekerja migran di sektor perikanan harus selesai di sektor hulu. Jadi, urusan dualisme pengaturan yang dilakukan Kemenhub dan Kemenaker harus diselesaikan dulu,” tegas Benni.
Selain itu, agar pasar domestik tenaga kerja sektor perikanan membaik, dirinya mengusulkan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007. “Ratifikasi Konvensi 188 akan mengatur standar kerja layak di kapal ikan yang akan membuat pasar nasional lebih kompetitif bagi para AKP,” beber Benni.