Di masa perang dingin tahun 1960an, banyak peristiwa politik yang mengubah nasib banyak orang. Beberapa mahasiswa yang dikirim belajar oleh pemerintah Indonesia ke Uni Soviet (Rusia) dan Tiongkok akhirnya tak bisa pulang ke Indonesia setelah peristiwa 1965. Terdampar dan melintasi berbagai Negara dengan tanpa status, mencari negara yang mau menampung mereka. Putus kontak dengan keluarga di Indonesia yang juga menjadi korban perubahan politik. Mereka dan kisah lainnya bercerita tentang keinginan untuk mencari jalan pulang yang tak pernah padam. Mereka mewakili ribuan orang yang senasib dan sudah berguguran dimana-mana. Mereka adalah monumen kekerasan yang masih hidup, bertahan dan terwariskan.
Monumen kekerasan itu diwariskan dalam bentuk ketakutan-ketakutan yang disimpan dalam benak, hati dan naluri dari generasi ke generasi. Seperti rantai-rantai raksasa yang melilit tangan, kaki, dan pikiran generasi setelah mereka. Jika mereka mencari jalan pulang, generasi yang mencari jalan kebebasan. Bebas dari ketakutan.
Kata “eksil” berasal dari bahasa Latin “exsilium”, yang secara harfiah berarti “pengusiran” atau “penyiksaan”. Secara umum, eksil mengacu pada kondisi atau situasi di mana seseorang dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya atau dilarang tinggal di tempat tertentu, sering kali karena alasan politik, agama, atau sosial.
Etimologi eksil mengandung makna tentang pengasingan, terutama yang diterapkan oleh pemerintah atau otoritas lainnya. Orang-orang bisa diasingkan dari negara mereka, kota mereka, atau masyarakat mereka karena berbagai alasan, termasuk karena pandangan politik, agama, atau karena dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Ketika seseorang hidup dalam keadaan eksil, mereka sering kali kehilangan banyak hal, termasuk hubungan dengan tanah air, keluarga, dan identitas mereka. Istilah eksil juga digunakan untuk menggambarkan perasaan isolasi dan kehilangan yang mendalam yang dirasakan oleh mereka yang terpisah dari lingkungan asli mereka.
Film ini menyoroti isu-isu politik, hak asasi manusia, dan kebebasan berekspresi, serta memberikan gambaran tentang perjuangan seorang anak untuk mencari dan memahami keberadaan ayahnya. “Eksil” merupakan salah satu karya Lola Amaria yang menampilkan narasi kuat tentang perjalanan emosional dan politik di Indonesia.
Eksil Indonesia mengacu pada periode di mana sejumlah tokoh politik, intelektual, dan aktivis dipaksa untuk hidup di luar Indonesia karena alasan politik, keamanan, atau ideologis. Sebagian besar eksil politik terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dari tahun 1966 hingga 1998.
Banyak tokoh-tokoh yang diasingkan selama periode ini, baik karena mereka dianggap sebagai oposisi terhadap rezim Soeharto, berada dalam kelompok etnis atau agama minoritas, atau memiliki pandangan politik yang berbeda. Beberapa di antara mereka pergi ke negara-negara lain di Asia Tenggara, Eropa, atau Amerika Serikat.
Di luar negeri, para eksil Indonesia mempertahankan perjuangan politik mereka, menggalang dukungan internasional, dan berusaha membangun jaringan dengan diaspora Indonesia dan kelompok advokasi hak asasi manusia di seluruh dunia. Banyak dari mereka juga memanfaatkan peluang untuk menyuarakan kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia yang terbatas di Indonesia pada masa itu.
Eksil Indonesia tidak hanya memengaruhi individu secara personal, tetapi juga berdampak pada politik dan budaya Indonesia secara keseluruhan. Banyak di antara mereka yang kemudian kembali ke Indonesia setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, meskipun beberapa tetap tinggal di luar negeri atas pilihan pribadi atau karena alasan lain.
Film Eksil menghadirkan pelaku sejarah diantaranya Asahan Aidit (Alm), Sardijo Mintardjo (Alm), Kuslan Budiman (Alm), Chalik Hamid (Alm), Sarmadji (Alm), Djumaini Kartaprawira (Alm), Hartoni Ubes, Waruno Mahdi, Tom Iljas, I Gede Arka, Nurkasih Mintard. Lola Amaria terjun langsung menghampiri 10 eksil yang tersebar di Rusia hingga Belanda. Ia menyebut seluruhnya masih cinta Indonesia.
“Mereka waspada sekali sama kita. Mereka mengira kita intel, jadi butuh proses meyakininya,” ujar Lola saat ditemui di XXI Metropole, Jakarta Pusat, kemarin.
“Jadi kita bantu masak dan cuci piring agar kecurigaan itu jadi cair. Dari situ, baru mereka percaya dan mau diwawancarai,” timpal Sari Mochtar selaku line produser.
“Ini film dokumenter perdana saya. Di film ini menggunakan gaya bertutur, sehingga akan lebih mudah untuk dicerna terutama oleh generasi milenial dan generasi Z,” kata Lola Amaria di XXI Metropole, Jakarta Pusat.
Dikatakan Lola Amaria, film Eksil tak bermaksud mengangkat peristiwa G30S/PKI atau politiknya, tetapi lebih dari sisi kemanusiaannya dengan melihat dan mendengar langsung apa yang dialami para Eksil selama menetap di negeri orang akibat terusir dari negeri sendiri. Termasuk kerinduan dan kecintaan mereka terhadap Tanah Air.
Proses produksi film dimulai sejak tahun 2015 dan berhasil diselesaikan pada tahun 2022.
Film Eksil tayang di bioskop berikut ini mulai tanggal 1 Februari 2024
Plaza Senayan XXI Jakarta, AEON Mall BSD City XXI Tangerang, Mega Bekasi XXI, TSM XXI Bandung, Ciputra World XXI Surabaya, Ringroad Citywalks XXI Medan, Empire XXI Yogyakarta dan Cinepolis Plaza Semanggi, Mall Lippo Cikarang serta Flix Ashta SCBD hingga CGV Aeon Mall Jakarta Grand Cakung (JGC) dan CGV JWalk Jogja.
Produser : Lola Amaria
Peneliti : Lola Amaria, Gunawan Rahardja
Produser Pelaksana : Sari Delyani
Penata Kamera Tambahan : Shalahuddin Siregar
Editor: Shalahuddin Siregar
Desain Grafis dan Animasi : Wahyu Ramandha Putro, Ken Teranova
Pemain Saluang : Armen Aqick Suwandi
Produksi : Lola Amaria Production