Serangan terorisme belakangan ini bertujuan jelas: MENGUBAH PANCASILA.
Pancasila adalah dasar bagi Indonesia yang adil, beragam dan demokratis. Sayangnya polarisasi politik menimbulkan gesekan dan kecurigaan sosial tinggi di semua lapisan masyarakat. Untuk tujuan-tujuan politik, Pancasila sengaja dilupakan dan dikesampingkan. Bahkan, orang mulai takut membawa-bawa Pancasila karena
dianggap bagian dari kelompok-kelompok politik tertentu. Untuk menyuarakan keberagaman saja banyak yang sering merasa dihantui ketakutan akan intimidasi. Jika dibiarkan lama-lama Pancasila jadi momok yang menakutkan. Kita harus lawan dan berani mengatakan bahwa Aku Pancasila.
Krisis penghayatan Pancasila yang banyak dialami oleh generasi muda ini bersumber pada miskinnya penghayatan nilai-nilai Pancasila dilingkungan keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi ruang bersemainya nilai-nilai Pancasila semakin lama semakin hilang. Pancasila menjadi asing dalam lingkungan keluarga sebelum akhirnya dilupakan.
Film LIMA adalah cermin bagaimana krisis itu terjadi di keluarga, lingkungan dan lapisan masyarakat lainnya. Ke LIMA sutradara bercerita betapa LIMA sila itu semakin keropos dan tidak lagi menjadi pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Agama yang seharusnya memberi rasa damai, seolah-olah menebarkan ketakutan. Rasa kemanusiaan kita yang semakin dangkal, sikap membeda-bedakan satu sama lain, mau menang sendiri sampai keadilan yang semakin jauh bagi rakyat bawah menjadi tema ke LIMA sutradara tersebut.
Bagi Ke LIMA sutradara muda ini, film LIMA adalah cara mereka menangkap fenomena krisis penghayatan Pancasila dalam masyarakat, mengekspresikan kegelisahan yang mereka alami dan sekaligus harapan akan INDONESIA yang kokoh, kuat, damai dan lebih baik di masa yang akan datang. Mereka ingin menjadi wakil dari generasi muda sekarang yang melihat generasinya di masa sekarang ini semakin takut meng AKU PANCASILA.
Walau digarap bersama oleh LIMA sutradara, film hasil kerjasama produksi Lola Amaria Production (LAP) dengan Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika juga beberapa pihak ini bukan omnibus. Ke LIMA nya bekerjasama membangun satu cerita besar yang utuh namun dengan ciri khas masing-masing. Cerita LIMA tokoh dalam film ini
menggambarkan LIMA sila dan keutuhan keluarga adalah simbolisasi keutuhan INDONESIA. Dengan berpegang pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan niscaya Indonesia akan tetap utuh sampai kapanpun dan kita tidak perlu takut dengan ancaman apapun termasuk terorisme.
Film ini dapat ditonton di layar-layar bioskop seluruh Indonesia mulai tanggal 31 Mei 2018, sehari sebelum peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni. Mari kita rayakan momen 20 tahun reformasi dengan menonton film LIMA ini sambil berharap reformasi yang sudah berhasil dicapai melalui perjuangan total seluruh lapisan masyarakat tetap berada pada jalur yang benar dan berpegang pada Pancasila.
PRODUCTION NOTE FILM “LIMA”
Genre : Drama
Studio : Lola Amaria Production
Starring;
Prisia Nasution : Fara
Yoga Pratama : Aryo
Baskara Mahendra : Adi
Tri Yudiman : Ibu Maryam
Dewi Pakis : Bi Ijah
Ken Zuraida : Tante Ita
Ravil Prasetya : Dega Pratama
Kiki Narendra : Pendeta
Raymond Lukman : Kevin
Aji Santosa : Agus
Eliza : Noni
Ella Hamid : Suster
Gerdi Zulfitranto : Andre
Alvin Adam : Erick
Willem Bevers : Tony
Rangga Djoned : Fajar (Notaris)
Ade Firman Hakim : Penasehat Hukum
Sapto Soetardjo : Jaksa Penuntut Umun
Directors : Shalahuddin Siregar
Tika Pramesti
Lola Amaria
Harvan Agustriyansyah
Adriyanto Dewo
Screenplay : Sinar Ayu Massie
Titien Wattimena
Producer : Lola Amaria
Executive Producer : Julian Foe
Gomulia Oscar
Co Producer : Sari Mochtan
Line Producer : Ariel Raditya Iman
Director of Photography : Amalia TS
Film Editor : Aaron Hasim
Music Director : Indra Perkasa
Sound Recordist : Ichsan Rachmaditta
Sound Designer : Khikmawan Santosa
Art Director : Asep Suryaman
Wardrobe : Sally Aninditha
Make Up : Ucok Albasirun
Casting Director : Meirina Alwie
LIMA
SINOPSIS
Fara, Aryo dan Adi baru saja kehilangan ibu mereka, Maryam. Tak cuma ketiga anaknya, Ijah –sang asisten rumah tangga- juga kehilangan Maryam. Bagaimana Maryam dimakamkan memicu perdebatan di antara ketiga anaknya. Maryam adalah seorang muslim, sementara dari ketiga anak, yang muslim juga cuma Fara. Namun akhirnya segala sesuatu terselesaikan dengan damai.
Masalah lalu berkembang ke anak-anak Maryam setelah ditinggalkan. Adi yang kerap di-bully suatu ketika harus menyaksikan peristiwa yang tidak berperikemanusiaan. Adi berusaha membantu semampunya, walaupun untuk itu ia harus berhadapan dengan Dega, teman sekolah Adi yang kerap mem-bully Adi.
Sementara Fara menghadapi masalahnya sendiri di pekerjaannya sebagai Pelatih Renang. Menentukan atlit yang harus dikirim ke Pelatnas, dengan tidak memasukkan unsur ras ke dalam penilaian. Ia menghadapi tantangan dari pemilik klub. Padahal para muridnya yang nota bene adalah remaja, tak pernah mempermasalahkan warna kulit
mereka.
Lalu… Aryo. Sebagai anak kedua dan lelaki tertua di keluarganya, sepeninggal Maryam, ia harus menjadi pemimpin ketika masuk ke wilayah persoalan warisan yang ditinggalkan Maryam.
Dan Ijah… ia memiliki masalahnya sendiri. Ijah terpaksa pulang kampung untuk menyelamatkan keluarganya sendiri. Menuntut keadilan yang seringkali tak mampir ke orang kecil seperti dia.
Pada akhirnya, keluarga campur sari ini cuma butuh kembali ke lima hal paling dasar yang menjadi akar mereka: Tuhan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan.