Jakarta, 12 Maret 2020”warnaplus.com” – Kain Pinawetengan merupakan kain tradisional dengan corak khas Minahasa yang direka ulang dengan corak dan teknik baru karena kain tradisional Minahasa yang asli sudah lama punah. Sampai saat ini konon hanya ada satu lembar wastra dari Minahasa yang ada di Indonesia, di Museum Nasional, sementara ada dua lembar kain lainnya di Tropen Museum, Amsterdam, Belanda.
Pada awalnya, masyarakat Minahasa memiliki dua jenis wastra tradisional yang dikenal dengan kain Bentenan (bukan kain merek Bentenan) dan Kain Pinatikan. Namun kedua kain ini sejak sekitar 100 tahun lalu sudah tidak diproduksi lagi dan tidak digunakan lagi oleh masyarakat setempat. Sampai saat ini belum ditemukan tulisan dengan alasan-alasan yang sahih tentang kepunahan kain dari daerah Minahasa. Namun diperkirakan invasi budaya Barat (Belanda) secara besar-besaran, termasuk penyebaran agama Kristen Protestan yang masif menjadi salah satu alasan punah kain ini.
Jika melihat foto-foto kuno yang ada (circa 1920-an), wanita Minahasa pada saat itu sudah mengenakan kain batik sebagai sarung berpadan kebaya renda atau kebaya encim sebagai atasan. Sementara para pria sudah mengenakan stelan jas seperti layaknya para pria Barat/Belanda pada umumnya.
Kekosongan kain tradisional ini berlangsung hingga tahun 2000-an sampai Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara di bawah pimpinan Irjen. Pol. (purn) Benny Mamoto berinisiatif untuk mengembangkan kain yang mempunyai ciri khas Minahasa dengan berlandaskan kearifan lokal budaya Minahasa. Pada awalnya kain yang dibuat dalam bentuk print dengan mengangkat corak-corak dan guratan yang tertera di situs budaya Watu Pinawetengan. Situs ini diperkirakan berusia sekitar 2000 tahun, namun baru ditemukan sejak tahun 1888.
Pada awalnya Kain Pinawetengan hanya memproduksi kain-kain bermotif yang ada di Watu Pinawetengan dalam bentuk cetak (print). Ditampilkan dengan berbagai warna khas Minahasa, warna-warna mencolok. Tak berhenti sampai di situ kain print ini pun dikembangkan lagi dalam berbagai motif. Terdapat corak bunga cengkeh, dan motif aneka binatang bahari, karena Minahasa terkenal akan biota laut yang sangat kaya, serta masih banyak lagi.
Kemudian pada tahun 2007, Kain Pinawetengan mengembangkan produknya menjadi aneka jenis kain dengan teknik pembuatan yang lebih tradisional. Mengembangkan tenun ikat dengan corak-corak tradisional khas Minahasa. Para perajin yang membuat kain jenis ini merupakan staf Wale Tenun yang merupakah bagian dari Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara. Setelah itu, Kain Pinawetengan mengembangkan tenun songket yang ragam motifnya pun masih diambil dari berbagai motif tradisional khas Minahasa.
Patut dicatat bahwa Kain Pinawetengan telah dipatenkan dan telah tercatat dalam Guiness Book of Record yang diakui sebagai tenun songket terpanjang di dunia. Panjang kain mencapai 101 meter dan tanpa sambungan.
Meskipun kemudian tenun ikat dan tenun songket Kain Pinawetengan sudah mulai banyak dikenakan oleh berbagai khalayak, karena mendapat sentuhan perancang mode (kala itu, Thomas Sigar) yang menangani rancangan busananya, namun harga kain ini terbilang tinggi, karena teknik pembuatan kain yang rumit dan memakan waktu lama. Harga yang mahal tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu pada acara Peresmian Rumah Kain Pinawetengan yang diselenggarakan 12 Maret 2020, di Humble House, jl. Wijaya II no. 123, Jakarta, dipersembahkan pula aneka rancangan busana siap pakai berbahan dasar aneka kain print produksi Kain Pinawetengan di hadapan para undangan dan penulis mode.
SITUS BUDAYA PINAWETENGAN
Watu Pinawetengan ( Tempat Pembagian) berada di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di tempat inilah, sekitar 1000 SM terjadi pembagian daerah kekuasaan dari sembilan sub etnis Minahasa (Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao). Selain sebagai simbol tempat pembagian daerah kekuasaan, Watu Pinawetengan dikenal pula sebagai tempat berunding para kepala sub etnis tersebut jika terjadi masalah.
Terdapat guratan-guratan yang sebagian membentuk corak; dipercayai sebagai hasil perundingan pada saat itu. Ada yang berbentuk manusia, alat kemaluan laki-lakil dan perempuan, corak daun, dan beberapa kumpulan garis tak beraturan tanpa makna.
Batu ini bisa dikatakan sebagai tonggak berdirinya sub etnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, karena nilai sejarah dan budaya yang kental. Tiap tanggal 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.
Watu Pinawetengan sebenarnya adalah simbol demokrasi sejati. Peristiwa demokrasi yang terjadi di Watu Pinawetengan bukan seperti teori demokrasi modern yang kita pelajari di sekolah dan di perguruan tinggi. Demokrasi Pinawetengan adalah sebuah tanda bahwa bangsa Minahasa menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat, pengambilan keputusan, serta eksekusi keputusan dan keunikan ini telah dilakukan oleh masyarakat Minahasa sejak dulu kala.
KAWAN KAWAN
dipilih menjadi tajuk untuk peresmian Rumah Kain Pinawetengan dan menggambarkan pertemanan (sejak 2009) antara Denny Malik, yang menggarap kreasi busana siap pakai Kain Pinawetengan, dengan pemilik Rumah Kain Pinawetengan, Iyarita Mamoto.
Denny acapkali berperan sebagai koreografer, bahkan sejak pertama kali Kain Pinawetengan diperkenalkan dalam peragaan busana pada 2009. Untuk menggambarkan pertemanan persembahan kali ini, bukan hanya para peraga yang merupakan kawan-kawan Denny, tapi juga semua para pekerja di balik panggung. Pendek kata pertemanan merupakan unsur yang membangun inspirasi, imajinasi, kreatifitas, serta kekompakan seluruh tim kerja di Rumah Kain Pinawetengan. Pertemanan menjadi lengkap saat grup vokal “PRIA” merilis album terkininya yang berjudul “Kawan”.
RUMAH KAIN PINAWETENGAN
Di rumah kain Pinawetengan, Humble House – Jakarta, pengunjung dapat menikmati beragam kain tenun hasil karya para pengrajin di Wale Tenun Pa’Dior (nama Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara).
Beragam pula aneka tenun ikat yang dibuat dengan tangan yang memakan waktu pengerjaan hingga dua bulan (tergantung kesulitan) untuk satu lembar kainnya. Selembar kain memiliki panjang sekitar 2,5 meter hingga empat meter.
Selain itu terdapat pula aneka tenun songket dengan warna-warna lebih mencolok dengan corak-corak khas Minahasa. Setiap lembar berukuran sekitar 2,25 – 2,50 meter.
Harga rata-rata kain tenun ikat, Rp.1 juta per meter. Untuk tenun songket berharga Rp. 3,5 juta per lembar. Sedangkan kain print dihargai antara Rp. 90.000 per meter hingga Rp. 150.000,- per meter. (Iko/Rezky)