warnaplus.com-Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia bersama Siber kreasi dan Dyandra Promosindo menyelenggarakan rangkaian
Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi secara virtual. Konten positif dan edukatif dalam program ini diharapkan dapat menangkal konten negatif di dunia maya. Sehingga gerakan Literasi Digital yang digelar di Sulawesi ini tidak hanya menciptakan provinsi
cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0. Pada kegiatan ini diikuti oleh 177 peserta yang tergabung secara virtual melalui Zoom.
Melalui program ini masyarakat diharapkan dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan, dan dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain hingga akhirnya membentuk pola pikir dan pandangan kritis dan kreatif. Pada Jumat, 4 Juni 2021 lalu, telah
diselenggarakan webinar Literasi Digital yang mengusung tema ‘Dakwah yang Ramah di Internet’. Webinar ini ditujukan untuk masyarakat wilayah Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar, dengan tujuan untuk mengenalkan pentingnya literasi digital kepada
masyarakat dan juga program serta kurikulum Literasi Digital dari Kemenkominfo dan Siber Kreasi.
Hadir sebagai narasumber, di antaranya yakni Direktur NU Online dan Islami.co Savic Ali yang membahas digital skill dengan tema ‘Pemanfaatan Internet bagi Dakwah Pemuka Agama’. Kemudian, blogger dan pemengaruh (influencer) Arham Kendari yang membahas etika digital dan mengulas “Bijak di Kolom Komentar”. Pembicara ketiga adalah Dr Usman Jasad, tokoh UI Sulawesi Selatan, yang akan membahas budaya digital dengan tema “Literasi Media Digital dalam Berdakwah”. Terakhir, dosen jurnalistik di UIN Makassar Andi Fauziah Astrid, yang akan membahas mengenai keamanan digital dengan tema “Cyber Safety: Tips dan Pentingnya Internet Sehat”.
Mengawali webinar, Savic Ali menyampaikan tentang kondisi dunia saat ini yang penuh dengan ungkapan kebencian. “Kita hidup di bawah awan gelap kebencian. Di beberapa tempat sudah gerimis, bahkan hujan karena ada kekerasan,” kata Savic Ali. Kehadiran internet diikuti media sosial membuat cara orang berinteraksi berubah. Dulu,
orang akan berpikir belasan kali sebelum mengumpat atau melontarkan ujaran kebencian. Kini, dengan tidak saling tatap muka, orang dengan begitu mudah melontarkan ungkapan kebencian kepada orang lain, ungkapan makian, bahkan fitnah.
“Karena berjauhan, obyek tidak saling kenal, makanya menjadi ringan ungkapan kebencian itu diucapkan. Maka, tidak heran media sosial dibanjiri ungkapan kebencian. Internet kita ini pun dibanjiri kabar bohong atau hoax,” terangnya.
Di Indonesia, lanjut Savic Ali, kondisi diperparah dengan adanya polarisasi masyarakat. Pendukung A akan begitu luwes menyebarkan kabar buruk kubu B. Padahal, ia tidak tahu apakah berita itu benar atau tidak. Begitu juga sebaliknya. Dengan pengguna aktif media sosial di Indonesia yang angkanya lebih dari 170 juta, tentu tidak mudah untuk mengklarifikasi sebuah informasi keliru. Tantangannya rumit. Maka, Savic Ali pun mengajak tokoh-tokoh agama, pengurus organisasi keagamaan, pendakwah untuk menyadari kondisi ini.
Atas dasar kondisi itu pula, Savic Ali menilai penting bagi pendakwah untuk melek digital. Sebab, apabila tidak melek digital, mereka bisa menjadi korban disinformasi atau bahkan ungkapannya dipotong dari konteks. “Penting untuk kita semua yang punya perhatian di dunia keagamaan untuk membanjiri internet dengan konten-konten positif. Internet itu seperti sungai besar informasi. Kalau air yang mengalir jernih, otomatis sungai itu akan bersih dan sehat. Bisa dipakai mengairi sawah, minum, atau mandi. Tapi, kalau air yang mengalir ke sungai besar informasi itu negatif, limbah sampah, apalagi limbah beracun, tentu itu membahayakan,” tutur Savic Ali.
Dalam kesempatan sama, tokoh MUI Sulawesi Selatan Usman Jasad menyampaikan, dengan melek digital, pendakwah diharapkan bisa membanjiri sungai besar informasi tersebut dengan konten-konten positif. Atau, setidak-tidaknya mengimbangi banyaknya informasi
yang bernuansa hoax, ujaran kebencian, dan adu domba. Usman juga menilai digitalisasi dakwah penting dilakukan.
Apalagi, kata dia, saat ini banyak sekali konten-konten di media sosial yang berbau gosip (ghibah) atau hoax. Gosip menjadi bahan yang banyak digemari di media sosial karena kalau tidak begitu dianggap tidak menarik. “Dan ada hadistnya bahwa orang yang berbicara tidak sesuai fakta itu adalah orang-orang yang tidak beriman,” katanya.
Sementara itu, dosen jurnalistik UIN Makassar Andi Fauziah Astrid melihat saat ini ada sejumlah masalah yang dihadapi para pendakwah yang menggunakan media sosial. Pertama,masalah privasi dan informasi pribadi. Kedua, tidak berhati-hati dan bijak dalam mengakses
atau membuat konten di internet.
Ketiga, membuat ketidaknyamanan dalam mengakses atau membuat informasi internet. keempat, perundungan siber (cyber bullying) yang kerap menimpa pendakwah di platform YouTube dan Instagram. “Saya ambil contoh netizen yang membahas cincinnya UAS (Ustad
Abdul Somad), fisik UAS, donasi kapal selam yang digagas UAS, bahkan ada yang masuk ke ranah pribadinya, misalnya perceraian. Ini semua bagian dari cyber bullying,” terang Fauziah.
Terakhir adalah masalah hak cipta. Fauziah mengambil contoh kasus ustad Das’ad Latif, pendakwah yang disegani di Sulawesi dengan jutaan pengikut di media sosial. Ada kanal lain yang memproduksi materi dakwah ustad Das’ad dan ditonton oleh jutaan orang hingga bisa dimonetisasi keuntungannya. Padahal, akun media sosial tersebut bukanlah akun resmi ustad Das’ad.
“Makanya, suatu ketika saat ceramah, ustad Das’ad menyampaikan ke yang hadir, tolong yang mau merekam nggak usah merekam. Ini akan kami posting di YouTube.
Permasalahannya, banyak orang yang nggak paham soal hak cipta, dan tidak menghargai hak cipta,” pungkasnya.
Tidak hanya bagi para pendakwah, bijak dalam bermedia sosial juga harus ditunjukkan oleh para pengguna atau warganet. Pemengaruh Arham Kendari membahas mengenai etika digital dengan tema “Bijak di Kolom Komentar”. Setidaknya, ada tujuh etika yang patut dipegang dalam bermedia sosial. “Ini sebagian besar berdasarkan pengalaman saya dalam bermedia
sosial,” katanya.
Pertama, ingat prinsip habluminannas. Sebagai seorang beragama, menjaga hubungan dengan sesama manusia sama pentingnya dengan menjaga hubungan dengan Sang Pencipta atau dalam Islam habluminallah. Kedua, ingat bahwa tulisan di media sosial adalah cerminan
diri kita. Dengan mengingat hal ini, maka konten digital kita seharusnya tidak melanggar batasan atau norma agama.
Ketiga, mengelola emosi. Keempat, tidak memantik perselisihan. Sebelum mengunggah informasi atau konten, tanyakan kembali niat kita, apa tujuan kita mengunggah konten ini. Apakah memberikan manfaat atau edukasi atau justru memperkeruh suasana?“Saya sarangkan cek dulu niat kita. Pertimbangkan maslahat mudharat sebagai Muslim. Apakah maslahat-nya lebih banyak dari mudharat-nya? Kalaupun mudharat-nya lebih kecil, bisa jadi ini menjadi besar,” katanya.
Kelima, menghargai privasi. Ketika masuk pusaran perdebatan hindari mengumbar informasi pribadi dan sensitif yang tidak pantas dilakukan. Misalnya, membawa-bawah silsilah keluarga, nasab, dan sebagainya. Keenam, menyadari lingkaran pertemanan. Etika komunikasi digital
tentu juga harus memperhatikan pertemanan kita.
Terakhir, paham literasi digital. Asal-asalan dalam menggunakan tulisan di media sosial tentu bukanlah tindakan patut. Apabila ingin mengkritik orang. Lebih baik sampaikan melalui jaringan pribadi dan tidak perlu diumbar di kolom komentar. “Karena mengkritik itu berbeda
dengan mempermalukan,” pungkasnya.
Kegiatan Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi akan diselenggarakan secara virtual mulai dari Mei 2021 hingga Desember 2021 dengan berbagai konten menarik dan materi yang informatif yang pastinya disampaikan oleh para narasumber terpercaya. Bagi
masyarakat yang ingin mengikuti sesi webinar selanjutnya, informasi bisa diakses melalui https://www.siberkreasi.id/ dan akun sosial media @Kemenkominfo dan @siberkreasi, serta @siberkreasisulawesi khusus untuk wilayah Sulawesi. (ifer)