Friday, September 20, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
HomeEducations“Laporan kepada Akademi”, Pentas Peringatan 100 Tahun Wafatnya Franz Kafka

“Laporan kepada Akademi”, Pentas Peringatan 100 Tahun Wafatnya Franz Kafka

YOGYAKARTA – Berangkat dari cerita Ein Bericht für eine Akademie (1917) karya sastrawan Franz Kafka, sutradara dan penulis lakon Ibed S. Yuga serta Kalanari Theatre Movement mementaskan pertunjukan dengan judul Laporan kepada Akademi.

Franz Kafka meninggal pada 1924. Dalam rangka peringatan hari wafatnya yang ke-100 tahun depan, Goethe-Institut ingin mengenangnya dengan mendukung pementasan Laporan kepada Akademi oleh Kalanari Theatre Movement. Dalam premier yang berlangsung di Pendopo Ajiyasa, Yogyakarta, pada 2 Desember 2023 malam, para penonton diajak menyaksikan metamorfosis narasi sebuah peradaban melalui pertunjukan.

Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien Dr. Ingo Schöningh menyampaikan bahwa kontribusi Kafka kepada sastra dunia telah memengaruhi Gabriel García Márquez (pemenang Hadiah Nobel 1982 dari Kolombia), serta penulis Bulgaria-Britania Elias Canetti (pemenang Hadiah Nobel 1981) yang juga menulis dalam bahasa Jerman. Sementara itu, Samuel Beckett, penulis Irlandia yang meraih Hadiah Nobel 1969, dipandang sebagai
“pewaris Kafka”. Kesamaan Kafka dengan nama-nama besar itu adalah tema seputar gejolak batin. Ini terungkap dengan lugas dalam naskah Laporan kepada Akademi.

“Naskah ini menceritakan seekor monyet yang berhasil menguasai bahasa manusia dan kini ingin membuktikan diri di hadapan publik akademis. Saat membaca naskah tersebut, tetapi juga pada pementasannya dalam bentuk monolog, orang diliputi perasaan sedih bercampur haru melihat makhluk yang telah terlepas dari hakikatnya,” ujar Ingo.
Mengeksplorasi tema-tema kurungan dan pengadaptasian, Laporan Kepada Akademi dapat dikatakan sebagai karya avant-garde yang berasal dari ketertarikan Kafka terhadap batas-batas kemanusiaan dan sisi kebinatangan, mengeksplorasi absurditas dan pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi dan masyarakat.

Imajinasi ulang oleh Ibed dan Kalanari Theatre Movement ini berakar pada sebuah meja makan: makanan yang menjadi kebutuhan dasar di mana politik bermula, panggung tempat aktor bercerita, dan ruang yang menayangkan biografi pribadi para tokoh utama – yang berasal dari dua kelompok etnis yang berbeda. Panggung ini juga berfungsi sebagai ruang di mana penonton dapat berpartisipasi dalam pertunjukan, meniru sebagai anggota akademi yang mewakili kekuatan dalam masyarakat.

Menghubungkan tujuan fungsional dan estetika, pertunjukan ini juga ditampilkan dalam bahasa isyarat – dengan demikian mengekspresikan hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat: tindakan pemahaman persepsi antara yang dimanusiakan dan yang tidak dimanusiakan, rasa hormat dan rasa tidak hormat, tema-tema yang berhubungan dengan yang Liyan, dari diskriminasi hingga konflik antar etnis.

Sebuah percobaan Ibed menyampaikan, saat berhadapan dengan cerita Ein Bericht für eine
Akademie karya Kafka, ia tidak mempunyai keinginan mengadaptasinya ke dalam ruang dan waktu Indonesia—sebuah strategi yang jamak dalam sejarah teater Indonesia ketika berhadapan dengan teks berbahasa asing. “Namun, saya tak ingin membiarkannya begitu saja. Saya ingin menjadikannya kontekstual dalam ruang dan waktu Indonesia tanpa harus mengadaptasinya,” ujarnya. Sang penulis lakon kemudian melakukan percobaan, mulai dari aktor yang paling lama bekerja dengannya di Kalanari, yakni Andika Ananda. Andika
memiliki biografi unik sebagai keturunan orang Rote yang diadopsi keluarga Jawa.

Percobaan menyandingkan biografi Andika dengan riwayat hidup Rodpeter dalam cerita Kafka adalah penemuan paralelisme dan perluasan spektrum narasi yang silih berganti, terutama melalui jalur pendidikan, agama, politik, dan etnisitas. Lalu, Ibed mencoba menyandingkan dan membandingkannya dengan riwayat Falentina Bengan Ola dari Adonara yang memiliki persentuhan dengan Yogyakarta (Jawa) melalui proses pendidikan. Hasilnya, spektrum narasi meluas dan menjalar melalui jalur pendidikan, etnisitas, politik, gender, dan standar kecantikan.

Di samping itu, ada tegangan bahasa yang kuat dalam riwayat-riwayat mereka.
Selain jalur-jalur tersebut di atas, tegangan bahasa juga merupakan satu hal
yang beroperasi dalam proses “pemberadaban/pemanusiaan” dan isu kesetaraan. Hal ini merangsang Ibed untuk meluaskan lagi spektrum narasi melalui jalur bahasa, dengan melibatkan riwayat Arief Wicaksono, seorang teman tuli yang telah lama berkecimpung dalam dunia pertunjukan, serta penuturan cerita Kafka melalui bahasa isyarat oleh Kurnelia Sukmawati Ramadhani. “Melalui Andika, Falentina, Arief, Kurnelia, serta peran penonton, saya berharap cerita Kafka menemukan sandingannya dalam konteks Indonesia, juga mengalami perluasan spektrum narasi dan resonansi pemaknaan secara terus-
menerus,” tutup Ibed.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments