Kolesi Mel Ahyar ARCHIPELAGO “CABAYA” Mengagumi Citra Kebaya Nusantara
Dulu, pernah disarankan tentang kebaya yang akan dikenakan perempuan Belanda yang mau mendampingi suami mereka di Hindia, supaya memiliki 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, dan 6 kebaya rapi untuk tinggal di Hindia.
Dalam buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, disebutkan bahwa identitas pakaian tidak kalah berbahayanya dengan identitas agama serta keyakinan politik. Kebaya, sarung, dan peci yang termasuk kategori pakaian juga memiliki simbol-simbol tertentu, yang bisa mencerminkan identitas sang pemakai. Istilah “kebaya” diyakini berasal dari kata serapan Arab qaba yang berarti “pakaian”, dimana istilah ini kemudian diperkenalkan ke Nusantara melalui kata serapan dari bahasa Portugis, cabaya. Kebaya merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan, ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari. Gaya busana Eropa totok dengan kaum Indo-Eropa ternyata sama. Kaum Indo-Eropa juga mengenakan kebaya dan sarung. Di tengah waktu luang, ketika santai di beranda rumah sambil menikmati secangkir kopi atau teh, mereka mengenakan kebaya, sarung, atau baju tidak berkerah.
Namun, pada 1920an, ada aturan yang melarang mereka mengenakan pakaian ini di ruang publik dan membiasakan kebiasaan lama, yaitu berbusana ala kolonial di kalangan publik. Pemakaian kebaya dan sarung tetap terpelihara, tetapi dibatasi hanya untuk dipakai di rumah. Sementara di luar rumah orang Eropa mengenakan pakaian Barat. Sekolah dan kerja mengharuskan pakaian rapi yang dilengkapi dengan sepatu. Sekarang, kebaya masih dipakai kaum perempuan walau terbatas pada momen-momen tertentu dan jarang sekali terlihat di ruang publik. Yang ironis, kebaya sekarang justru lebih identik dengan perempuan yang telah beranjak tua di desa-desa.
Bagi Mel Ahyar, cerita citra serta keindahan keragaman Kebaya merupakan salah satu simbol pemersatu Nusantara Indonesia, yang tidak bisa putus untuk dipelajari; mewujudkannya dalam ruang publik yang lebih universal. Kebaya adalah karya besar budaya Nasional Indonesia, yang harus dilestarikan oleh generasi penerus, lewat karya-karya yang dapat mengharumkan nama bangsa.
Pada tanggal 5 September 2022 kemarin, Mel Ahyar meluncurkan koleksi terbaru Mel Ahyar ARCHIPELAGO “CABAYA”, dalam rangkaian acara IPMI “Kain Negeri” JF3 Fashion Festival di Jakarta. Koleksi ini menonjolkan pakaian kebaya nusantara dengan kain tenun Indonesia, dimana terdapat sebagian dari banyak ragam kebaya di penjuru Nusantara Indonesia seperti Kebaya Kutubaru, Kebaya Encim, Kebaya Labuh Melayu, Kebaya Dansa Ambon, Kebaya Bali dan Kebaya Panjang. CABAYA terinspirasi dari keindahan khas siluet-siluet kebaya Nusantara serta cara masing-masing daerah membawakannya, dengan kain panjang, selendang, stagen, kemben dan korset, serta aksesoris yang melengkapinya. Kebaya-kebaya Nusantara ini diberikan twist dengan gaya siluet yang ekstra, potongan tegas, serta detil-detil buatan tangan, khas Mel Ahyar. Lebih lanjut, sebagian dari kebaya dalam koleksi ini dibuat dengan kain tenun sutra Garut, dengan motifmotif khas bunga puspa, bunga gambur serta motif-motif geometris dengan warna-warna cerah dan berani, yang menimbulkan efek tiga dimensi dari tekstur benang-benang sutra.
Koleksi Mel Ahyar ARCHIPELAGO “Cabaya” adalah koleksi terbatas, bisa diperoleh langsung via WhatsApp Sales Assistant +62-819-840-646. Referensi cerita koleksi: Artikel Kompas “Kebaya, Sarung, dan Politik Pencitraan” oleh Fandy Hutari, Jakarta.