Monday, March 17, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
HomeHeadlinesBPOM Setujui Imunoterapi Pertama untuk Pasien Kanker Hati

BPOM Setujui Imunoterapi Pertama untuk Pasien Kanker Hati

warnaplus.com- Obat imunoterapi atezolizumab dengan kombinasi bevacizumab telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk pengobatan pasien kanker hati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut atau yang tidak dapat dioperasi dan belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. Persetujuan BPOM untuk imunoterapi pertama pada terapi kanker hati ini menandai era baru pengobatan kanker hati yang merupakan penyakit yang berkembang cepat.


Dengan jumlah kasus yang mencapai 21.392 orang pada tahun 2020, kanker hati adalah salah satu kanker
yang paling tinggi menyebabkan kematian di Indonesia. Kanker hati juga merupakan penyebab kematian
karena kanker peringkat ke-4 di Indonesia dengan angka prevalensi 5 tahun sebesar 22.530 kasus. Karsinoma sel hati (hepatoselular karsinoma/HCC) merupakan salah satu tipe kanker hati utama yang paling umum dengan prognosis (perjalanan penyakit) yang sangat buruk. Di dunia, terdapat sekitar 750.000 orang per tahunnya terdiagnosis karsinoma sel hati (HCC)2,3 dan umumnya sudah pada stadium lanjut . Di Indonesia, insiden karsinoma sel hati terjadi pada 13,4 per 100.000 penduduk.

“Penyakit kanker menjadi beban masyarakat dunia. Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan menjadikan anker sebagai prioritas dalam rencana strategis. Menangani kanker harus komprehensif, melibatkan berbagai sektor dan pihak dengan pendekatan multidisiplin dan kolaborasi interprofesional, dengan fokus pada pasien. Peran organisasi peduli pasien dan swasta sebagaimana yang dilakukan oleh Roche Indonesia yang telah banyak berkiprah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kanker, mengembangkan solusi pengobatan dan diagnostik dan mengupayakan akses bagi pasien sangatlah
penting,” demikian sambutan Prof. dr. Abdul Kadir, PhD, Sp.THT-KL (K), MARS – Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, yang disampaikan oleh dr. Else Mutiara Sihotang, Sp.PK, Kasubdit RS Pendidikan Kementerian Kesehatan. 

Publikasi yang dilakukan secara retrospektif pada dua rumah sakit tersier (Rumah Sakit Umum Nasional
Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Nasional Kanker Dharmais), antara Januari 2015 hingga November 2017 tercatat tingkat kematian pasien karsinoma sel hati sebesar 48,2% dimana diantaranya terdapat 23,4% pasien meninggal dalam rentang waktu 6 bulan setelah terdiagnosis. Salah satu penyebab tingginya tingkat mortalitas ini adalah terlambatnya diagnosis, sehingga sebagian besar pasien datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. Tidak hanya itu, meskipun angka kejadian karsinoma sel hati tinggi, pasien dengan penyakit ini hanya memiliki pilihan yang terbatas untuk pengobatan yang berdampak pada tingkat kematian yang tinggi.


“Sebagian besar pasien karsinoma sel hati di Indonesia datang ketika sudah masuk stadium lanjut,
sementara pilihan pengobatan yang ada sangat terbatas. Data menunjukkan selama 15 tahun (1998 – 1999
dibandingkan dengan 2013 – 2014) tidak ada perubahan angka kesintasan yang signifikan untuk pasien
kanker hati. Pasien saat ini terus berharap akan adanya pengobatan transformatif yang bisa meningkatkan
harapan hidupnya,” jelas DR. dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM, yang merupakan seorang dokter
spesialis gastroenterohepatologi. “Dengan disetujuinya obat imunoterapi atezolizumab dengan kombinasi bevacizumab sebagai imunoterapi pertama untuk pengobatan pasien kanker hati tipe karsinoma sel hati stadium lanjut, diharapkan adanya perbaikan kesintasan pasien kanker hati yang lebih tinggi. Kami sangat berharap agar pengobatan baru ini dapat menjangkau pasien yang membutuhkan sehingga kita dapat menekan angka kematian akibat kanker hati,” lanjutnya.

Obat imunoterapi kanker bekerja dengan cara membantu sistem imun di tubuh manusia untuk secara spesifik membunuh sel kanker. Studi klinis menunjukkan penggunaan Atezolizumab yang dikombinasikan
dengan Bevacizumab meningkatkan angka kesintasan hingga 19,2 bulan atau 34% lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan standar dan mencegah perburukan penyakit hingga 6,9 bulan atau perbaikan hasil pengobatan hingga 35% dibandingkan dengan pengobatan standar yang ada saat ini. Selain memperoleh kesempatan harapan hidup yang baik, pasien dapat juga menjalani hidup yang lebih berkualitas dengan profil keamanan obat yang dapat ditoleransi dengan baik.

“Selama 125 tahun keberadaan kami di dunia dan 50 tahun di Indonesia, Roche memiliki sejarah menjelajahi bidang ilmiah baru, bidang penyakit baru dan teknologi baru, dan mengembangkan obat yang dapat mengubah hidup pasien. Namun, terobosan dalam ilmu kedokteran hanya memiliki arti bila dapat mencapai pasien-pasien yang membutuhkannya,” kata Dr. Ait-Allah Mejri, Presiden Direktur Roche Indonesia. “Kanker adalah masalah kita bersama. Karena itu, Roche terus mengajak semua kalangan, mulai dari praktisi kedokteran, akademisi, media, pemerintah, dan masyarakat untuk dapat bekerja sama
dalam menyediakan akses yang lebih luas terhadap diagnosis dan pengobatan kanker yang berkualitas
untuk pasien, baik di sektor swasta, maupun di sektor publik melalui Jaminan Kesehatan Nasional,” tutup
Dr. Mejri.

Ibu Evy Rachmad (68 tahun), yang merupakan pasien kanker hati menyampaikan harapannya, “Sebagai
pasien kanker hati, saya sangat berharap pengobatan kanker hati dapat ditanggung oleh pemerintah,
termasuk obat-obatan yang terbaru seperti imunoterapi kanker ini. Selama ini semua biaya pengobatan
saya tanggung sendiri dan tidak masuk dalam BPJS. Saya juga berharap agar bisa mendapatkan informasi
yang lengkap, baik tentang pentingnya memeriksa risiko kanker hati secara rutin, apa saja tahapan
penyakit saya dan apa saja pengobatan yang ada sehingga kami sebagai pasien jelas tentang penanganan
kanker hati yang kami alami,” ungkap Evy Rachmad, pasien kanker hati yang juga anggota komunitas
CISC (Cancer Information and Support Center).

Deteksi dini juga menjadi kunci dalam perbaikan kesintasan pasien kanker hati. Untuk itu, pemeriksaan rutin pada pasien yang memiliki risiko tinggi seperti pasien hepatitis B dan C harus menjadi perhatian. Hal ini yang dialami oleh Ibu Erla Watiningsih, dimana suaminya telah meninggal dalam jangka waktu setahun setelah terdiagnosis kanker hati. “Pembelajaran yang saya dapatkan adalah penting sekali melakukan pemeriksaan rutin untuk pasien dengan risiko tinggi kanker hati, diantaranya hepatitis B. Harapan saya adalah terbentuknya sinergi antara berbagai pihak baik pemerintah, dokter, rumah sakit maupun komunitas
untuk peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai deteksi dini kanker hati,” ujar ibu Erla Watiningsih yang juga merupakan pendiri Komunitas Peduli Hepatitis.

“Semakin cepat dideteksi, maka akan semakin cepat mendapatkan penanganan yang tepat. Sehingga,
prognosa kanker hati juga akan semakin baik. Karena itu, masyarakat yang berisiko harus rutin melakukan
tes atau kita sebut surveilans untuk mendeteksi kanker hati. Dengan perkembangan kemajuan teknologi
kesehatan, hasil pemeriksaan bagi pasien juga kini dapat lebih akurat dalam bantuan diagnosis kanker hati
yaitu dengan tes terkini, PIVKA II. Kadar PIVKA II di atas nilai normal dapat menjadi penanda yang lebih
baik dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.” jelas Dr. dr.
Agus Susanto Kosasih, Sp.PK(K), MARS yang merupakan seorang dokter spesialis patologi klinik.

PIVKA II adalah biomarker yang dapat digunakan dalam surveilans rutin pada populasi berisiko tinggi yaitu
pada pasien dengan kelainan hati. Kadar PIVKA II diatas nilai normal dapat menjadi penanda dalam surveilans untuk menyarankan pasien mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. PIVKA II lebih sensitif dalam mendiagnosis kanker hati, terutama bila dikombinasikan dengan Tes darah untuk alfa-fetoprotein (AFP). Studi menunjukan kombinasi PIVKA II + AFP memberikan akurasi diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi lebih banyak pasien kanker hati pada pasien hepatitis B & C. Peningkatan kadar PIVKA II
berkorelasi baik dengan stadium penyakit, terlepas dari ukuran tumor, kelompok etnis pasien, atau etiologi
kanker hati. Dalam interpretasi hasil PIVKA II, pemeriksaan lainnya dalam tatanan klinis tetap perlu dilakukan seperti CT-Scan dan MRI atau jika dibutuhkan adalah biopsi untuk memberikan diagnosis yang tepat bagi pasien. Pemeriksaan PIVKA II dilakukan dengan menggunakan sampel darah dan dikerjakan metode ECLIA di laboratorium Patologi Klinik. (if)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments