Thursday, September 19, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
HomeEventsPaviliun Indonesia Tutup Hong Kong FILMART 2024 dengan 2 Talkshow yang Sukses...

Paviliun Indonesia Tutup Hong Kong FILMART 2024 dengan 2 Talkshow yang Sukses Memaparkan Perkembangan Industri Film Indonesia dan Kesiapan Kolaborasi dengan Pihak Internasional

Hong Kong, 2024 – Pavilion Indonesia sukses menggelar 2 talkshow di Hong Kong International Film Festival & TV Market (FILMART) 2024 pada tanggal 13 Maret 2024. Talkshow pertama bertajuk “A Close Look at Indonesia’s Film Industry” yang dihadiri empat pembicara utama, yaitu Alex Sihar (Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI), Reza Servia (Produser StarVision Plus), Shanty Harmayn (Co-Founder & Co Chief Executive Officer BASE Entertainment), dan Yulia Evina Bhara (Produser KawanKawan Media), dengan Naman Ramachandran dari Variety sebagai moderator.

Talkshow ini menyoroti pertumbuhan signifikan industri film Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Alex Sihar, mengungkapkan “saat ini beragamnya tema yang diangkat dalam film-film Indonesia memperkaya industri film, pertumbuhan jumlah layar hingga pun mencapai 2700 layar pada tahun 2024, dari jumlah sebelumnya hanya sekitar 700 layar di tahun 2006. Serta peningkatan kualitas produksi film dengan penggunaan bahasa daerah dan dialek daerah memiliki daya tarik tersendiri bagi pasar di Indonesia,” tuturnya.

Perkembangan industri film juga terlihat dari pengolahan Intellectual Property (IP) di industri film Indonesia. Shanty Harmayn, Co-Founder & Co-Chief Executive Officer BASE Entertainment, membahas tentang keberhasilannya mengembangkan IP Gadis Kretek bersama Netflix. Gadis Kretek yang awalnya hanya berupa novel, menjadi sebuah seri web yang sukses secara lokal dan internasional. Sementara itu, di Indonesia, pengembangan IP lain juga sudah terbukti sukses, seperti adaptasi novel Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 menjadi beberapa judul film dan produk makanan coklat juga menjadi bukti kesuksesan dalam pengembangan IP.

Dalam penutupan diskusi, produser Yulia Evina Bhara menekankan pentingnya mengembangkan sumber daya manusia dalam industri film Indonesia, baik dari sisi pembuat film maupun talenta akting. “Di luar mengupayakan kolaborasi dengan berbagai pihak secara lokal atau internasional, kami terus membuka kesempatan untuk menemukan talenta baru di industri film. Kami selalu mencari atau membentuk filmmaker baru berbakat, dan hingga kini festival film menjadi salah tempat yang dapat digunakan menjadi wadah untuk mengembangkan filmmaker baru. Baik itu lewat komunitas maupun lab. Sejalan dengan regenerasi filmmaker, terus bertambahnya talenta akting baru juga menjadi perhatian penting kami, agar semakin siap untuk berkolaborasi dengan berbagai negara,” ungkapnya.

Di talkshow kedua, dengan tema “Capturing Wonderful Indonesia: Film Locations and Production Assets”, menghadirkan Shierly Kosasih (COO Adhya Pictures), Celerina Judisari (CEO Mahaka Pictures), Dwi Heriyanto (Direktur Utama Perusahaan Produksi Film Negara – PFN) selaku pembicara, dan dimoderatori oleh Linda Gozali (Produser Magma Entertainment). Para pembicara menitikberatkan pemaparan tentang kesiapan Indonesia dalam berkolaborasi dari segi lokasi syuting, infrastruktur, dan aktivitas film di Indonesia, dengan harapan dapat mengundang kolaborasi lebih lanjut dalam mengangkat keindahan dan kekayaan Indonesia melalui lensa kamera.

Salah satu contoh film kolaborasi Indonesia dengan rumah produksi internasional yang berjudul Forza, memilih Bali, Indonesia menjadi salah satu lokasi syutingnya. Selain Bali, Indonesia juga memiliki banyak destinasi lainnya, yang mumpuni untuk menjadi lokasi syuting. Di antaranya ada lima Destinasi Super Prioritas (DSP), yaitu Danau Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB), Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Likupang di Sulawesi Utara.

Kabar baiknya, bagi rumah produksi, agen, maupun filmmaker internasional yang ingin memproduksi filmnya di Indonesia, dapat mengakses platform Indonesia Film Facilitation (IFFa), yang didedikasikan untuk menyediakan layanan produksi film di Indonesia. Salah satu contoh film internasional yang pernah melakukan syuting di kawasan Indonesia adalah film Monkey Man karya Dev Patel. Ia memilih salah satu lokasi pedalaman Indonesia sebagai pelengkap di dalam filmnya. Harapannya, dengan pemaparan ini akan membuka peluang kolaborasi internasional dalam hal produksi film.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments