warnaplus.com-Rangkaian Acara Webinar Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Siber kreasi bersama Dyandra Promosindo, dilaksanakan secara virtual pada Senin, 7 Juni 2021. Kolaborasi ketiga lembaga tersebut dikhususkan pada penyelenggaraan Literasi Digital di wilayah Sulawesi.
Kegiatan yang berlangsung di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) ini menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya Direktur NU Online dan Islami.co Savic Ali, CEO & Founder Rumah Karawo Agus Lahinta, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar Firdaus Muhammad MA yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Dakwah MUI Sulawesi Selatan, serta Aktivis Perempuan Lusia Palulungan SH. M.Hum. Kegiatan yang diikuti oleh 123 peserta ini bertema ‘Dakwah yang Ramah di Internet’.
Kegiatan diawali dengan sambutan berupa video dari Presiden Joko Widodo yang memaparkan peningkatan infrastruktur digital harus diimbangi dengan peningkatan kesiapan fan kecakapan masyarakat dalam dunia digital. “Infrastruktur digital tidak berdiri sendiri. Jadi, saat jaringan internet sudah tersedia harus diikuti dengan kesiapan-kesiapan pengguna internetnya agar manfaat positif internet dapat dioptimalkan untuk membuat masyarakat semakin cerdas dan produktif,” kata Presiden.
Narasumber pertama yang menyampaikan materi ialah Savic Ali terkait potensi dan peluang kegiatan dakwah di era digital. Menurutnya, masyarakat Indonesia 94 persen religius sehingga sangat mudah bagi tokoh agama menggerakkan potensi tersebut ke hal-hal yang positif. Hal ini penting untuk memastikan agar dunia maya yang berkembang pesat di tengah kehidupan masyarakat bersih, sehat, dan terhindar dari hal-hal yang negatif.
Savic mengibaratkan dunia digital sebagai sungai informasi di mana 170 juta orang pengguna aktif media sosial memanfaatkannya. “Sehingga kita harus memastikan sungai informasi. Dunia maya ini harus bersih airnya agar tetap dapat digunakan untuk minum, mandi, dan semacamnya,” ujarnya.
Nara sumber kedua yang menyampaikan materi ialah Agus Lahinta dengan pembahasan terkait kode etik digital dan bijak di kolom komentar. Ia sepakat dengan pemaparan Savic bahwa kondisi dunia digital kita sekarang dipenuhi “awan hitam kebencian”. Oleh karena itu, diperlukan etika atau tata krama digital demi menjaga kenyamanan warga digital lainnya. Agus menegaskan bahwa apa yang kita tulis adalah representasi dari diri kita sehingga penting untuk memahami etika dalam komunikasi digital. Pengendalian emosi, menghindari perselisihan, dan menjaga perasaan orang lain menjadi penting agar kita tidak terseret ke dalam permasalahan hukum berujung pidana akibat hal-hal negatif yang kita lakukan.
Selanjutnya, Firdaus Muhammad, mengulas tentang budaya digital, yakni sebuah literasi dalam berdakwah di dunia digital. Menurutnya, transformasi dunia digital sekarang ini sudah menjadi suatu keharusan. Terlebih lagi di era pandemi yang membuat berbagai kegiatan sosial harus diselenggarakan secara daring. Oleh karena itu, seorang pendakwah harus adaptif dan mengikuti perkembangan jaman sekalipun tak berarti harus meninggalkan metode dakwah yang lama.
Firdaus menambahkan bahwa dakwah haruslah ramah, bukan marah atau emosional. Isi dari dakwah yang baik haruslah menyapa, bukan menyalahkan, edukatif tetapi tak menggurui, serta lebih fokus pada amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dibanding mendahulukan nahi munkar (mencegah keburukan). Selain itu, interaksi yang baik juga harus dibangun dengan pendengar atau pemirsa lewat bahasa yang mudah dipahami dan sederhana.
Lusia Palulungan mengulas materi tentang keamanan digital, yaitu bagaimana tips dan pentingnya internet sehat. Ia memaparkan bahwa dewasa ini perkembangan internet begitu pesat. Beragam produk layanan berbasis internet telah akrab dan kerap digunakan baik dalam dunia kerja maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari. Aktivitas dalam menggunakan internet terekam sebagai jejak digital, baik disadari atau tidak. Oleh karena itu, dalam penggunaan internet, sebelum mengunggah sesuatu sebaiknya dipikirkan dan meninjau ulang apa yang akan diunggah tersebut.
Jika tidak berhati-hati dalam menggunakan internet, siapapun bisa terancam masalah yang serius. Banyak contoh kasus dan masalah yang menjerat pengguna internet akibat kelalaiannya beraktifitas di dunia maya. Pelanggaran hukum yang bisa menjerat tersebut bisa berupa kekerasan berbasis gender daring, penghinaan, pencemaran nama baik, pornografi, hingga kejahatan siber. KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE yang berlaku melingkupi persoalan-persoalan hukum tersebut memuat ancaman hukuman 6 bulan, 1 tahun, hingga 12 tahun penjara.
“Media massa adalah pedang yang kapan saja dapat melukaimu, berawal dari pikiran lalu jari-jari adalah penentu terakhir,” ujarnya.
Setelah pemaparan materi oleh keempat narasumber, kegiatan Literasi Digital dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu moderator. Terlihat antusias dari para peserta yang mengirimkan banyak pertanyaan kepada para narasumber berkaitan dengan tema dan materi yang telah disampaikan. Sepuluh peserta dengan pertanyaan terbaik akan mendapatkan uang elektronik masing-masing senilai Rp 100.000,-
Terdapat pertanyaan yang menarik dari seorang peserta yang mengungkapkan permasalahan dakwah digital tentang bagaimana membangun kesadaran atas fenomena pendakwah yang tidak bijak dan sekadar meneruskan informasi saja. Para narasumber menjelaskan bahwa untuk menjadi pendakwah haruslah memiliki dasar keilmuan yang kuat dan diterima atau masuk dalam lembaga dakwah tertentu. Oleh karena itu, jika ada pendakwah yang tidak bijak lebih baik diabaikan saja. (if)