Jakarta, Januari 2020 – Film dokumenter SEMESTA produksi Tanakhir Films yang berkisah tentang mereka yang merawat Indonesia hanya tinggal menghitung hari akan tayang di bioskop.
Sejak awal penggarapannya, Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra selaku pendiri Tanakhir Films merangkap produser film ini mempersiapkan SEMESTA menjadi tayangan dokumenter yang berbeda.
Tidak semata karena keterlibatan orang-orang di belakang layar yang selama ini banyak terlibat dalam penggarapan film fiksi panjang di bioskop, tapi juga dari sudut pandang penceritaan.
Hal tersebut ditegaskan oleh sutradara Chairun Nissa. “Kami sepakat membuat film tentang perubahan alam yang bukan sekadar mendokumentasikan, tapi juga ada cara bertutur yang puitik, dan ada story yang kami coba bangun dari setiap lokasi atau sosok ini,” ujarnya.
Mereka yang menjadi sosok protagonis dalam film ini dipilih setelah melalui proses riset. Pertama Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali. Bersama segenap umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Sebab posisi Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang berkontribusi tinggi terhadap pemanasan global.
Dihentikannya penggunaan listrik, transportasi, dan industri selama satu hari selama Nyepi ternyata memberi efek luar biasa dalam pengurangan emisi harian di Bali.
Lalu ada Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti langkah tata cara adat dalam melindungi dan melestarikan hutan.
Sebab dengan cepatnya deforestasi, hanya tata cara masyarakat adat dalam mengelola hutan yang menjadi harapan terbaik terhadap perlindungan hutan. Bagi masyarakat hutan adat di Dusun Sungai Utik, tanah adalah ibu, sementara air adalah darah. Makanya perlu dijaga dari segala ancaman kerusakan.
Berlanjut menemui Romo Marselus Hasan, Pemimpin Agama Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang menyelipkan pesan kepada para jemaatnya untuk berdamai dan menjaga pelestarian alam, terutama sumber mata air.
Desa Bea Muring belum dialiri listrik, sehingga masyarakat terpaksa menggunakan generator untuk sumber listrik mereka. Namin generator tidak hanya bising, tapi juga mengeluarkan emisi yang berbahaya bagi alam. Tujuh tahun lalu, bersama warga di sana, Romo Marselus secara mandiri membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro, yang notabene merupakan sumber listrik yang berkelanjutan dan bersih.
Walaupun fokus utama film SEMESTA tentang perubahan iklim, unsur pemberdayaan perempuan dan community development juga menjadi salah satu kisah yang diangkat. Ini tercermin lewat pemilihan Almina Kacili, Kepala kelompok wanita gereja di Kapatcol, Papua Barat.
Bersama ibu-ibu anggota kelompoknya, Almina Kacili membantu penyeimbangan alam melalui “Sasi”, sebuah tradisi kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan melindungi wilayahnya dari eksploitasi, terutama oleh nelayan-nelayan yang menggunakan peralatan ilegal.
Protagonis selanjutnya yang menempati wilayah paling barat Indonesia adalah Muhammad Yusuf. Sehari-hari ia menjadi imam di Desa Pameu, Aceh. Dalam setiap kesempatan tak henti ia memperingatkan penduduk untuk berdamai dengan alam, termasuk ketika memberikan khutbah di masjid.
Hal yang mendorongnya memperingatkan masyarakat lantaran melihat praktik penebangan hutan yang merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pemanasan global. Ini berdampak pula pada rusaknya habitat alami gajah liar.
Akibatnya gajah-gajah yang sudah tak mempunyai rumah tersebut memasuki daerah permukiman warga. Konflik antara gajah liar dan masyarakat pun banyak terjadi di sepanjang hutan di pulau Sumatera.
Penonton kemudian akan diperkenalkan dengan figur Iskandar Waworuntu yang bertahun-tahun lalu memutuskan hijrah dari kehidupannya dahulu dan hidup dari sebidang tanah kering, sebuah tempat yang ia beri nama Bumi Langit.
Melalui komitmen untuk menjalani praktik thayyib, Pak Is —demikian sapaannya— dengan dukungan keluarganya menggunakan ilmu permakultur untuk berhubungan kembali dengan alam. Mereka membuka pintu bagi siapa saja untuk belajar dan berbagi di Bumi Langit dalam menyebarkan pemahaman untuk secara sadar kembali pada kebaikan.
Perjalanan SEMESTA berakhir dengan kehadiran Soraya Cassandra, petani kota pendiri Kebun Kumara, Jakarta. Melalui sebuah kebun yang ia kelola di pinggiran ibukota, Sandra melakukan kampanye prinsip-prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali.
Dalam membangun kisah dari setiap tokoh atau lokasi tadi, sutradara Chairun Nissa yang juga akrab disapa Ilun ini tetap memakai struktur penceritaan tiga babak. Jadi para penonton tetap akan mendapatkan bagian pengenalan, permasalahan, dan penyelesaian seperti yang biasanya dijumpai dalam film fiksi.
“Untuk sudut pandang, kami mencoba mengulik hal-hal ringan yang kita semua bisa lakukan dalam keseharian. Tujuannya agar penonton juga bisa memilih mempraktikkan bagian mana yang paling dekat dengan keseharian mereka,” tambah Ilun.
Dilanjutkannya bahwa pendekatan kreatif tadi sangat diperlukan agar pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini dapat dengan mudah dimengerti oleh para penonton dari berbagai kalangan. Selain itu untuk menghindarkan film SEMESTA menjadi tontonan dokumenter yang menakutkan, terlebih ketika praktik merawat alam Indonesia dihubungkan dengan pendekatan agama dan budaya.
Pemanasan global karena ulah manusia yang mengakibatkan kerusakan dalam banyak aspek kehidupan seharusnya dipandang sebagai tanggung jawab semua orang. Sudah sepatutnya juga setiap orang berkontribusi dalam merawat alam.
Berdasarkan pengalamannya menjelajahi berbagai daerah di Tanah Air, Nicholas Saputra yang juga dikenal publik sebagai aktor mengungkapkan krisis ekologi di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan. “Makanya penting untuk menjaga kondisi alam kita sekarang juga,” sambung pemeran tokoh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta ini.
Ditambahkan Mandy Marahimin, berbagai istilah seperti perubahan iklim, pemanasan global, dan lain-lain jangan sampai membuat kita jadi apatis melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitar.
“Tidak selalu harus butuh langkah-langkah besar pula untuk mengatasi kondisi tersebut. Film ini menunjukkan bahwa langkah-langkah kecil yang kita lakukan juga bisa memberikan dampak besar untuk merawat dan melestarikan alam Indonesia,” kata Mandy Marahimin.
Hal tersebut tampak dari aktivitas merawat alam dan lingkungan yang dilakukan oleh tujuh protagonis dalam film ini. Semuanya merupakan kegiatan sederhana. Siapa pun, tanpa memandang umur, status, agama, dan tempat tinggal bisa melakukannya dalam keseharian.
Film SEMESTA mendapatkan dukungan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dan juga dari sponsor-sponsor: Bank Mandiri, The Body Shop, Mitsubishi Motors, dan Kemitraan.
Kehadiran film SEMESTA yang akan tayang terbatas di bioskop mulai 30 Januari 2020 diharapkan tak hanya menjadi pengingat sementara, tapi juga memantik gerakan menjaga dan memelihara alam yang berkesinambungan. Demi masa depan kita semua.
Cuplikan film SEMESTA dapat disaksikan dalam tautan berikut:
Informasi lebih banyak dan menarik lainnya tentang film SEMESTA dapat disimak pada akun Tanakhir Films di berbagai kanal media sosial:
Facebook: Tanakhir Films
Twitter: @tanakhirfilms
Instagram: @tanakhirfilms
YouTube: Tanakhir Films
Sinopsis
Film Semesta berkisah tentang tujuh sosok dari tujuh propinsi Indonesia yang bergerak memelankan dampak perubahan iklim dengan merawat alam atas dorongan agama, kepercayaan, dan budaya masing-masing.
Melalui rangkaian kisah tujuh sosok inspiratif ini, film Semesta mengajak kita berkeliling sembari menikmati kekayaan alam di Tanah Air, mulai dari titik ujung barat, yakni Desa Pameu, Aceh, hingga menuju bagian ujung timur Indonesia, tepatnya di Kampung Kapatcol, Papua.
Rangkaian kisah mereka yang merawat alam Indonesia ini akan mengajak kita semua untuk ikut berperan dalam memelankan dampak perubahan iklim melalui langkah kecil yang bisa kita lakukan masing-masing.
Film Semesta adalah debut Tanakhir Films memproduksi film dokumenter panjang. Sebelumnya film ini berhasil menjadi nomine dalam kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018. Film ini juga terseleksi untuk diputar di Suncine International Environmental Film Festival yang berlangsung di Barcelona, Spanyol (6-14 November 2019).
INFORMASI PRODUKSI FILM SEMESTA
Judul: Semesta (Islands of Faith)
Genre: Dokumenter panjang
Durasi: 90 menit
Rilis: 30 Januari 2020
Produksi: Tanakhir Films
Sutradara – Chairun Nissa
Produser – Nicholas Saputra, Mandy Marahimin
Sinematografer – Aditya Ahmad
Editor – Ahsan Andrian
Penulis – Cory Michael Rogers
Periset – Hertasning Ichlas
Perekam Suara Lapangan – Indrasetno Vyatrantra, Hasanudin Bugo,
Penata Suara – Satrio Budiono
Penata Musik – Lie Indra Perkasa
Line Producer – Age Anzis Maulana
Assistant Director – Muhammad Ichsan
Production Assistant – Amalia Sekarjati
Camera Assistant – Abdul Rahman Saade
Digital Imaging Technician – Muhammad Iqbal
Post Producer – Rico Mangunsong
Assistant Editor – Ragil Priyo Atmojo
Tentang Tanakhir Films
Tanakhir Films didirikan oleh Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra pada 2013. Mandy Marahimin pada awalnya dikenal sebagai publisis film untuk Ada Apa dengan Cinta (2002). Kemudian ia merambah posisi produser pelaksana dan produser.
Sementara Nicholas Saputra lekat di hati penonton sebagai aktor yang telah menuai berbagai penghargaan, antara lain Piala Citra sebagai pemeran pria utama dan pemeran pria pendukung terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia.
Sepanjang eksistensinya rumah produksi audio visual ini sudah menggarap beragam konten seperti film bioskop, tayangan televisi, videoklip musik, iklan, dan web series. Beberapa film panjang yang telah diproduksi Tanakhir Films adalah Cinta dari Wamena (2013) dan Ada Apa dengan Cinta 2 (2016).
Selain itu, film dokumenter berdurasi pendek yang telah diproduksi Tanakhir Films, A Man with 12 Wives (2017) telah tayang di stasiun TV NHK Jepang. Tanakhir Films juga memproduksi beberapa dokumenter pendek lain, di antaranya Save the Forest Giants (2016), The Woven Path (2019), dan Perempuan Tana Humba (2019) yang menjadi nomine dokumenter pendek terbaik di Festival Film Dokumenter.
Usai menggarap Semesta yang merupakan produksi film dokumenter panjang pertama mereka, Tanakhir Films tengah menyiapkan sebuah dokumenter panjang lainnya berjudul My Big Sumba Family.
Proyek lain berupa tiga film fiksi panjang berjudul Crocodile Tears, Creepy Case Club, dan Puno: Letters To The Sky juga siap diproduksi. Khusus untuk Crocodile Tears, film yang akan diproduksi pada 2021 ini telah terpilih ke beberapa program prestisius seperti La Fabrique di Cannes Film Festival, Torino Feature Lab di Italia, dan Berlinale Talent Project Market di Berlin Internasional Film Festival.