Sebagai penutup dari trilogi koleksi Bramanta Wijaya yang berbicara tentang tiga esensi hidup manusia – iman, pengharapan dan kasih, Tresno menjadi bagian terakhir dari tiga esensi ini. Tresno yang berarti cinta dalam bahasa Jawa, menjadi tali yang saling mengaitkan dua esensi lainnya, iman dan pengharapan.
Bersama Tresno, Bramanta Wijaya ingin merayakan cinta. Cinta kepada Tuhan, keluarga, sahabat dan tentu saja; akar budaya. Meskipun saat ini kita berada ditengah dunia yang sedang bergejolak dengan benci dan amarah, kasih datang saat kita percaya akan harapan.
Kecintaan Bramanta Wijaya pada akar budayanya terefleksi lewat simbol-simbol yang diterjemahkan dalam motif dan potongan baju. Budaya Jawa di mana dia mengakar, peranakan Cina dan Eropa, dimana dua hal ini menjadi pengaruh yang unik dalam koleksi kali ini. Ketiga budaya ini menjadi paduan bahasa yang kaya dan menjadi mudah untuk dipadukan karena cinta yang mendalam terhadap akar budayanya. Hal inilah yang menjadikan Tresno sebagai koleksi yang sarat akan cinta terhadap budaya Indonesia yang majemuk.
Bramanta Wijaya memberikan sentuhan kontemporer dalam potongan kain yang mampu merekam jejak ketiga budaya bangsa Indonesia yang terinspirasi lewat motif-motif batik Peranakan Cina dan Jawa, dihiasi dalam potongan yang terinspirasi dari gaya Eropa.
Benang merah dari Tresno adalah harapan dan kepercayaan akan adanya cinta dan kasih. Sesuatu yang patut dirayakan, sekecil apapun bentuknya. Dalam balutan gaya kontemporer, siluet koleksi musim semi 2019 terlihat tetap klasik dengan sentuhan emosi tradisional namun masih dlaam garis rancang rumah mode Bramanta Wijaya.
Terinspirasi oleh klan Manchu dari Dinasti Qing yang merayakan kebebasan wanita dalam strata sosial mereka Bramanta Wijaya menerjemahkan koleksi Tresno ke dalam siluet anggun jubah jubah wanita bangsawan dari era Dinasti Qing. Potongan badan yang melebar dan membebaskan gerak dituangkan menjadi gaun midi berpotongan trapeze. Jubah Manchu dengan 4 belahan diberi twist sedikit untuk menjadi gaun panjang yang dihiasi detail kancing yang dipadukan dengan celana panjang.
Dominasi kerah Shanghai dapat terlihat hampir disetiap gaun. Bustier hadir sebagai sentuhan klasik nan elegan yang dipadukan bawahan kain sarung khas kebaya Encim. Sesekali, rok dengan potongan flare akan terlihat silih berganti dengan gaun berpotongan cheongsam, suatu manifestasi dari era ekspresi kebebesan wanita China ditahun 1930an.
Dalam koleksi ini teknik bordir menyuarakan ekspresi Peranakan dengan paduan kebudayaan Eropa. Teknik ini diguraikan pada kain linen yang dihiasi motif bunga krisan dan bunga-bunga Eropa lain. Sebuah motif khas yang dikembangkan oleh kaum peranakan Cina dan Eropa yang merindukan warna-warna cerah dan buket bunga, sebuah hadiah yang melambangkan kasih. Tak hanya bunga, motif awan yang mengingatkan pada Mega Mendung dan garis geometris menjadi representasi hasil perpaduan budaya di pesisir utara Jawa.
Pada pagelaran Tresno, akan ditampilkan sebuah tarian yang diiringi lagu Impen Impenen yang dilirik lagunya berkata bahwa – terlalu jatuh cinta sampai kebawa mimpi menggambarkan cinta yang begitu besar. Irama khas Jawa Banyuwangi juga sesekali terdengar alunan musik oriental memperkuat kesan akukturasi yang ingin ditekankan.
Sebagai pamungkas, Bramanta Wijaya ingin menjadikan Tresno sebagai pesan terhadap setiap orang untuk tidak pernah menyereah akan cinta. Karena esok masih ada dan jumlah detiknya masih sama.