Jakarta, 12 Oktober 2021 – Tranformasi energi fosil ke energi hijau sudah harus mulai ditransformasikan. Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, and ASEAN, Lars Bo Larsen mengatakan bahwa kira-kira 15 tahun lalu, batu bara bukan hanya menjadi tulang punggung energi Denmark, tetapi juga menjadi lima sumber energi yang dominan di Denmark. “Jika dahulu penggunaan energy fosil mencapai 99 persen, kini telah jauh berkurang menjadi 9 persen,” ungkapnya dalam diskusi Pekan Diplomasi Iklim 2021 hari kedua dengan tema “From Black to Green Energy Transition in Indonesia and EU”. (12/10).
Menurutnya, penggunaan energi hijua juga akan memberikan banyak keuntungan untuk masyarakat Indonesia, seperti dalam hal efisiensi harga, serta mengurangi emisi. “Meski begitu dibutuhkan strategi dalam mendisain transisi energi sehingga memberikan keuntungan bagi semua orang,” tegas Duta Besar Larsen.
Hal itu diamini Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti. “Indonesia sejak lama didominasi bahan bakar fosil karena beberapa alasan, akibatnya hingga kini kontribusi energi fosil cukup besar buat GDP Indonesia yaitu 8,4 persen. Selain itu energi fosil dianggap lebih murah dan lebih kompetitif (oleh pengusaha) dalam menjalankan bisnisnya,” jelasnya.
“Komisi VII DPR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyepakati untuk emisi gas Indonesia mencapai 26 persen yaitu dengan penggunaan transisi energi,” tambahnya.
Sayangnya, seperti disampaikan Ahmad Hanafi, dari Indonesia Parliamentary Center (IPC), pembahasan transisi energi masih sangat sedikit disebut sehingga ini menjadi kendala tersendiri buat mempercepat pengesahan RUU EBT (Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan). “Hingga saat ini masih sedikit pembahasan menyebut soal transisi energi di DPR, padahal bahasan itu penting karena butuh waktu, paradigma dan lain sebagaianya,” kata dia.
Oleh karena itu ia pesimis jika RUU EBT dapat disahkan DPR tahun ini seperti yang direncanakan dan kemungkinan besar pengesahannya baru dapat dilaksanakan pada 2022 mendatang. “Namun kami mengapresiasi DPR dengan menghadirkan 27 pihak terkait sehingga dapat langsung mengkoneksikan pendapatnya dengan DPR,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Danish Energi Agency Adbvisor, Alex Newcombe pun mencoba membagikan pengalaman negara Denmark dalam menurunkan emisi. Ia sepakat dengan Duta Besar Lars Bo Larsen yang menyatakan negaranya butuh waktu 15 tahun untuk mengurangi emisi. “Emisi di Denmark menurun secara signifikan sejak 1999 hingga sekarang, dan penggunaan batu bara dan minyak bumi kini mendekati target yakni 77 persen,” urai Alex.
Menurutnya untuk negara Indonesia seharusnya tidak membutuhkan waktu selama itu lantaran sudah banyak sumber yang bisa dipelajari sekarang ini, baik dari pengalaman negara Denmark maupun negara lainnya. “Aspek kebijakan menjadi kunci untuk membantu mengurangi risiko dalam mengakselerasi transisi energi,” paparnya lebih lanjut.
Sementara itu, Dr Felix Matthest, Research Coordinator Energy & Climate Policy at Oko Institute, Former Member of The German Coal Commission menyatakan, yang menjadikan transisi energi kompleks adalah masalah buruh.
“Di Jerman ada 26.500 pekerja tambang dan pembangkit listrik tenaga batu bara, namun mereka terkonsentrasi di beberapa wilayah (wilayah miskin). Untuk mengatasinya Jerman menciptakan kerangka kompensasi kehilangan pekerjaan untuk mereka. Adalah tugas utama untuk membangun kemakmuran daerah dengan menciptakan kondisi yang menarik bagi lapangan kerja baru dan bagi yang lebih muda,” tandasnya.
Pekan Diplomasi Iklim 2021 yang digagas Uni Eropa, mengangkat lima bidang tematik yaitu Meningkatkan Ambisi Iklim, Transformasi Ekonomi, Pelestarian Ekosistem, Mengajak Keterlibatan Semua Pihak, Sarana untuk Mencapai Ambisi. Ajang yang berlangsung hingga 16 Oktober ini menghadirkan 40 pembicara dalam 15 sesi seperti webinar, sesi bincang, dialog; dan sejumlah kegiatan lainnya termasuk aksi tanam pohon bakau di pantai Jakarta.